Larangan Bagi Orang yang Berhadas Besar
Larangan Bagi Orang yang Berhadas Besar

Amalan-Amalan yang Tidak Boleh Dilakukan oleh Orang yang Berhadats bag-2

Sebelum membaca pembahasan ini lebih lanjut, ada baiknya kamu membaca bagian pertama dari Larangan Bagi Orang Berhadats.

✒ Ustadz Amir As-Soronji

Ada beberapa amalan yang tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim jika ia tidak suci, karena kedudukan dan kemuliaan amalan tersebut. Kami akan jelaskan kepada anda amalan-amalan tersebut berdasarkan dalil dari al-Qur’an dan sunnah.

Amalan-amalan yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang berhadats besar dan berhadats kecil:

2. Shalat

Orang yang berhadats besar dan kecil tidak boleh mengerjakan shalat wajib, shalat sunnah, maupun shalat jenazah, jika ia mampu bersuci. Hal ini berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma ahli ilmu.

Allah berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا قُمۡتُمۡ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغۡسِلُوۡا وُجُوۡهَكُمۡ وَاَيۡدِيَكُمۡ اِلَى الۡمَرَافِقِ وَامۡسَحُوۡا بِرُءُوۡسِكُمۡ وَاَرۡجُلَكُمۡ اِلَى الۡـكَعۡبَيۡنِ‌ ؕ وَاِنۡ كُنۡتُمۡ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوۡا‌ …

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah…”(QS Al-Maidah: 6)

Rasulullah shalallahu alaihi wassallam bersabda:

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Tidak akan diterima shalat salah seorang dari kalian apabila ia berhadats, hingga ia berwudhu.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, no. 225)

Para ulama umat ini telah sepakat bahwa tidak sah shalat tanpa bersuci, jika seseorang mampu melakukannya. (Al-Ausath, karya Ibnul Mundzir, 1/107)

2. Menyentuh mushaf Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kitab agung yang dimuliakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka sudah sepantasnya kaum muslimin memuliakan dan mengagungkannya. Di antara bentuk pemuliaan terhadap Al-Qur’an adalah tidak menyentuhnya kecuali dalam keadaan suci. Orang yang berhadats besar dan kecil tidak boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an berdasarkan firman Allah: 

لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (QS. Al-Waqi’ah: 79). Yakni orang-orang yang disucikan dari hadats besar dan hadats kecil.

Sebagian ulama berpendapat: “Yang disucikan” adalah para malaikat yang dimuliakan. Seandainya ayat ini ditafsirkan demikian maka hal itu tidak menafikan bahwa manusia juga masuk di dalam ayat ini, berdasarkan riwayat Hakim bin Hizam radiallahuanhu, ia berkata: “Tatkala Rasulullah shalallahu alaihi wassallam mengutusku ke Yaman, beliau bersabda:

لا تَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلا وَأَنْتَ طَاهِرٌ

“Jangan engkau menyentuh Al-Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci’”. (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 3135 dan al-Mu’jam al-Ausath, no. 3301, dan Daruquthni dalam Sunannya, no. 440). 

Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dan dijadikan dalil oleh para ulama tentang tidak bolehnya menyentuh Al-Qur’an kecuali setelah berwudhu.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan: “Boleh berdalil dengan ayat ini 

(QS. Al-Waqi’ah: 79) terkait larangan menyentuh Al-Qur’an bagi orang yang berhadats, karena Al-Qur’an yang berada di Lauhul Mahfuz adalah Al-Qur’an (yang sama dengan) yang ada di mushaf. Jika Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfuz tidak boleh disentuh kecuali oleh makhluk yang disucikan, maka Al-Quran yang ada di bumipun tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang disucikan karena sama-sama mulia.” (Syarah al-Umdah, hal 384)

Ishaq al-Marwazi rahimahullah mengatakan dalam kitab Masail al-Imam Ahmad: “Saya pernah bertanya kepada Imam Ahmad, ‘Apakah seseorang boleh membaca al-Qur’an tanpa wudhu?’. Beliau menjawab, ‘Ya boleh, akan tetapi ia tidak boleh membaca dengan (menyentuh) mushaf selama tidak punya wudhu’. Ishaq berkata, ‘Sebagaimana dikatakan oleh beliau (itulah yang benar), berdasarkan sabda Nabi shalallahu alaihi wassallam yang shahih, ‘Tidak boleh menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci’. Demikian pula yang dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in.” (Irwaa al-Ghalil 1/160-161, no. 122).

Riwayat dari para sahabat mengenai hal ini:

▪︎Diriwayatkan dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash, ia berkata: 

كُنْتُ أُمْسِكُ الْمُصْحَفَ عَلَى سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، فَاحْتَكَكْتُ. فَقَالَ سَعْدٌ: لَعَلَّكَ مَسِسْتَ ذَكَرَكَ؟ قَالَ: فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقَالَ: قُمْ، فَتَوَضَّأْ. فَقُمْتُ، فَتَوَضَّأْتُ، ثُمَّ رَجَعْتُ.

“Aku pernah memegang mushaf di hadapan Sa’ad bin Abi Waqqash, lalu aku menggaruk-garuk (kemaluanku). Sa’ad bertanya, ‘Kayaknya engkau telah menyentuh kemaluanmu?’ Aku jawab, ‘Benar’. Maka Sa’ad berkata, ‘Berdirilah kamu dan berwudhulah’. Aku lantas bangkit dan berwudhu lalu aku kembali”.(HR. Malik dalam al-Muwaththa (no. 59, dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa al-Ghalil 1/161, no. 122).

▪︎Dari Abdurrahman bin Yazid, ia berkata: 

كُنَّا مَعَ سَلْمَان رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَانْطَلَقَ إِلَى حَاجَةٍ فَتَوَارَى عَنَّا، ثُمَّ خَرَجَ إِلَيْنَا وَلَيْسَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ مَاءٌ، قَالَ: فَقُلْنَا لَهُ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ لَوْ تَوَضَّأْتَ فَسَأَلْنَاكَ عَنْ أَشْيَاء مِنْ الْقُرْآنِ، قَالَ: فَقَالَ: سَلُوا فَإِنِّي لَسْتُ أَمَسُّهُ، فَقَالَ: إِنَّمَا يَمَسُّهُ الْمُطَهَّرُوْنَ ثُمَّ تَلَا: {إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيْمٌ}، {لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَ}. 

“Kami bersama Salman. Suatu ketika ia pergi untuk buang hajat hingga tidak terlihat oleh kami. Kemudian ia mendatangi kami, sementara tidak ada air di antara kami. Maka kami berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Abdillah, seandainya engkau berwudhu terlebih dahulu, karena kami akan menanyakan kepadamu beberapa hal dari al-Qur’an’. Beliau berkata, ‘Silahkan bertanya, aku tidak akan menyentuhnya’. Lalu beliau berkata, ‘Al-Qur’an hanya boleh disentuh oleh orang-orang yang disucikan’. Kemudian beliau membaca, ‘Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia…tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan’”.(HR. Hakim dalam Al-Mustadraknya, no. 3839).

▪︎Dari Nafi:

أَنَّ اِبْنَ عُمْرَ كَانَ لَا يَمَسُّ الْمُصْحَفَ إِلَّا وَهُوَ طَاهِرٌ 

“Bahwasanya Ibnu Umar radiallahuanhuma tidak menyentuh mushaf melainkan dalam keadaan suci”.(HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya, no. 7598).

Sayikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Tidak ada sahabat lain yang menyelisihi mereka”.(Majmu’ah al-Fatawa 21/152).

Sebagian ulama memahami bahwa maksud suci dalam hadits di atas (hadits Hakim bin Hizam radiallahuanhu) adalah suci dari kekufuran atau kemusyrikan. Artinya, yang tidak boleh menyentuh al-Qur’an hanya orang kafir dan musyrik, karena mereka tidak suci dari kekufuran dan kemusyrikan. Adapun orang mukmin boleh menyentuh al-Qur’an walaupun ia berhadats. Namun yang kuat –wallahu a’lam bisshawab– kesucian yang dimaksud adalah dari hadats, lebih-lebih dari kekafiran dan kemusyrikan, karena arah pembicaraan hadits ini (hadits Hakim bin Hizam radiallahuanhu) tertuju kepada kaum muslimin.

Nabi shalallahu alaihi wassallam bersabda kepada Hakim bin Hizam radiallahuanhu (yang ia adalah seorang muslim) tatkala mengutusnya ke Yaman: 

لا تَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلا وَأَنْتَ طَاهِرٌ

“Jangan engkau menyentuh Al-Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci”. (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, no. 3135, dan al-Mu’jam al-Ausath, no. 3301, dan Daruquthni dalam Sunannya, no. 440).

Mungkin demikian saja pembahasan kali ini terkait apa saja larangan bagi orang yang berhadas besar bagian k-2. Semoga ilmu yang disampaikan oleh Ustadz Amir ini dapat bermanfaat dan bernilai pahala bagi kita semua. Baarakallahu fiik, semoga tetap dalam bimbingan Allah. Bagikan artikel ini ke orang terdekat kalian agar manfaat dari tulisan ini semakin tersebar luas. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *