Tafsir Surah Al-Baqarah ayat 183 |
Tafsir Surah Al-Baqarah ayat 183-184 Imam Ibnu Katsir
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183) أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (184) }
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.
Melalui ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala ber-khitab kepada orang-orang mukmin dari kalangan umat ini dan memerintahkan kepada mereka berpuasa, yaitu menahan diri dari makan dan minum serta bersenggama dengan niat yang ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala Karena di dalam berpuasa terkandung hikmah membersihkan jiwa, menyucikannya serta membebaskannya dari endapan-endapan yang buruk (bagi kesehatan tubuh) dan akhlak-akhlak yang rendah.
Allah menyebutkan, sebagaimana puasa diwajibkan atas mereka, sesungguhnya Allah pun telah mewajibkannya atas umat-umat sebelum mereka. Dengan demikian, berarti mereka mempunyai teladan dalam berpuasa, dan hal ini memberikan semangat kepada mereka dalam menunaikan kewajiban ini, yaitu dengan penunaian yang lebih sempurna dari apa yang telah ditunaikan oleh orang-orang sebelum mereka. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
لِكُلٍّ جَعَلْنا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهاجاً وَلَوْ شاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً واحِدَةً وَلكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْراتِ
Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja); tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (Al-Maidah: 48), hingga akhir ayat.
Karena itulah maka dalam ayat ini disebutkan:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. (Al-Baqarah: 183)
Dikatakan demikian karena puasa mengandung hikmah menyucikan tubuh dan mempersempit jalan-jalan setan. Seperti yang disebutkan di dalam hadis Sahihain, yaitu:
“يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ”
Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu memberi nafkah, maka kawinlah; dan barang siapa yang tidak mampu (memberi nafkah), hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan peredam baginya.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan batas hari-hari yang dilakukan padanya puasa, hal itu dilakukan bukan setiap hari agar tidak berat dikerjakan yang akibatnya nanti tubuh menjadi lemah dalam menunaikannya, melainkan hanya dalam beberapa hari tertentu. Memang demikianlah cara ibadah puasa pada permulaan Islam, yaitu mereka melakukan puasa tiga hari setiap bulan. Kemudian hal ini di-mansukh oleh perintah puasa bulan Ramadan sepenuhnya, seperti yang akan dijelaskan kemudian.
Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa ibadah puasa pada permulaan Islam dilakukan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh umat-umat terdahulu sebelum kita, yaitu setiap bulannya tiga hari. Riwayat ini dari Mu’az, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ata, Qatadah, dan Ad-Dahhak Ibnu Muzahim. Puasa demikian masih terus berlangsung sejak zaman Nabi Nuh ‘alaihissalam sampai Allah me-nasakh-nya. dengan puasa bulan Ramadan.
Abbad ibnu Mansur meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. (Al-Baqarah: 183-184) Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan, “Memang benar, demi Allah, sesungguhnya ibadah puasa diwajibkan atas semua umat yang telah lalu, sebagaimana diwajibkan atas kita sebulan penuh; yang dimaksud dengan ayyamam ma’dudat ialah hari-hari tertentu yang telah dimaklumi.” Dan telah diriwayatkan dari As-Saddi hal yang semisal.
وَرَوَى ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ مِنْ حَدِيثِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُقْرِيِّ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ، عَنْ أَبِي الرَّبِيعِ، رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “صِيَامُ رَمَضَانَ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ..”
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari hadis Abu Abdur Rahman Al-Muqri yang mengatakan, telah menceritakan kepadaku Sa’id ibnu Abu Ayyub, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnul Walid, dari Abur Rabi’ (seorang ulama Madinah), dari Abdullah ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda: Puasa bulan Ramadan diwajibkan oleh Allah atas umat-umat terdahulu.
Demikianlah nukilan dari sebuah hadis panjang, yang sengaja kami singkat seperlunya menyangkut pembahasan ini.
Abu Ja’far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi’ ibnu Anas, dari orang yang menerimanya dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian. (Al-Baqarah: 183) Bahwa diwajibkan atas mereka apabila seseorang di antara mereka salat malam hari lalu tidur, maka diharamkan atasnya makan, minum, dan bersetubuh dengan istri sampai waktu yang semisal di besok malamnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Abdur Rahman ibnu Abu Laila, Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Muqatil Ibnu Hayyan, Ar-Rabi’ ibnu Anas, dan Ata Al-Khurrasani.
Ata Al-Khurrasani meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian. (Al-Baqarah: 183) Yakni atas kaum Ahli Kitab.
Telah diriwayatkan dari Asy-Sya’bi, As-Saddi serta Ata Al-Khurrasani hal yang semisal.
Kemudian Allah menjelaskan hukum puasa menurut apa yang berlaku di masa permulaan Islam. Untuk itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}
Maka jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 184)
Artinya, orang yang sakit dan orang yang bepergian tidak boleh puasa di saat sakit dan bepergian, mengingat puasa memberatkan keduanya, bahkan keduanya boleh berbuka dan mengqadai puasa yang ditinggal-kannya itu di hari-hari yang lain sebanyak yang ditinggalkannya. Orang yang sehat lagi berada di tempat, tetapi berat menjalankan puasa, sesungguhnya dia boleh memilih antara puasa dan memberi makan. Dengan kata lain, jika dia suka, boleh puasa; dan jika ia suka berbuka, maka berbuka boleh baginya, tetapi dia harus memberi makan seorang miskin setiap hari. Jika dia memberi makan lebih banyak dari seorang miskin untuk setiap harinya, maka hal ini lebih baik baginya. Jika ia berpuasa, maka puasa lebih utama baginya daripada memberi makan. Demikianlah menurut Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Mujahid, Tawus, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf. Karena itulah maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
{وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 184)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا الْمَسْعُودِيُّ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُرّة، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أُحِيلَتِ الصَّلَاةُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ، وَأُحِيلَ الصِّيَامُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ؛ فَأَمَّا أَحْوَالُ الصَّلَاةِ فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، وَهُوَ يُصَلِّي سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ عَلَيْهِ: {قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا} [الْبَقَرَةِ: 144] فوجهَهُ اللهُ إِلَى مَكَّةَ. هَذَا حَوْلٌ. قَالَ: وَكَانُوا يَجْتَمِعُونَ لِلصَّلَاةِ ويُؤْذِنُ بِهَا بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى نَقَسُوا أَوْ كَادُوا يَنْقُسُون. ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ، يُقَالُ لَهُ: عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ، أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي رَأَيْتُ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ -وَلَوْ قلتُ: إِنِّي لَمْ أَكُنْ نَائِمًا لصدقتُ -أَنِّي بَيْنَا أَنَا بَيْنَ النَّائِمِ وَالْيَقْظَانِ إذْ رَأَيْتُ شَخْصًا عَلَيْهِ ثَوْبَانِ أَخْضَرَانِ، فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، فَقَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ -مَثْنَى حَتَّى فَرَغَ مِنَ الْأَذَانِ، ثُمَّ أَمْهَلَ سَاعَةً، ثُمَّ قَالَ مِثْلَ الذِي قَالَ، غَيْرَ أَنَّهُ يَزِيدُ فِي ذَلِكَ: قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ -مَرَّتَيْنِ -قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “عَلِّمْهَا بِلَالًا فَلْيؤذن بِهَا”. فَكَانَ بِلُالٌ أَوَّلَ مَنْ أَذَّنَ بِهَا. قَالَ: وَجَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، [إِنَّهُ] قَدْ طَافَ بِي مِثْلَ الذِي طَافَ بِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ سَبَقَنِي، فَهَذَانِ حَالَانِ. قَالَ: وَكَانُوا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ -قَدْ سَبَقَهُمُ النَّبيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِهَا، فَكَانَ الرَّجُلُ يُشِيرُ إِلَى الرَّجُلِ إِذًا كَمْ صَلَّى، فَيَقُولُ: وَاحِدَةٌ أَوِ اثْنَتَيْنِ، فَيُصَلِّيهِمَا، ثُمَّ يَدْخُلُ مَعَ الْقَوْمِ فِي صَلَاتِهِمْ. قَالَ: فَجَاءَ مُعَاذٌ فَقَالَ: لَا أَجِدُهُ عَلَى حَالٍ أَبَدًا إِلَّا كنتُ عَلَيْهَا، ثُمَّ قضيتُ مَا سَبَقَنِي. قَالَ: فَجَاءَ وَقَدْ سَبَقه النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِهَا، قَالَ: فثَبَتَ مَعَهُ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فَقَضَى، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّهُ قَد سَنَّ لَكُمْ مُعَاذ، فَهَكَذَا فَاصْنَعُوا”. فَهَذِهِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ
وَأَمَّا أَحْوَالُ الصِّيَامِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، فَجَعَلَ يصومُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَصَامَ عَاشُورَاءَ، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِ الصِّيَامَ، وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ} . إِلَى قَوْلِهِ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ، وَمَنْ شَاءَ أَطْعَمَ مِسْكِينًا، فَأَجْزَأَ ذَلِكَ عَنْهُ. ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ الْآيَةَ الْأُخْرَى: {شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزلَ فِيهِ الْقُرْآنُ} إِلَى قَوْلِهِ: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} فَأَثْبَتَ اللهُ صيامَه عَلَى الْمُقِيمِ الصَّحِيحِ ورخَّصَ فِيهِ لِلْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ، وَثَبَتَ الإطعامُ لِلْكَبِيرِ الذِي لَا يَسْتَطِيعُ الصِّيَامَ، فَهَذَانَ حَالَانِ. قَالَ: وَكَانُوا يَأْكُلُونَ وَيَشْرَبُونَ وَيَأْتُونَ النِّسَاءَ مَا لَمْ يَنَامُوا، فَإِذَا نَامُوا امْتَنَعُوا، ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ: صِرْمَةُ، كَانَ يَعْمَلُ صَائِمًا حَتَّى أَمْسَى، فَجَاءَ إِلَى أَهْلِهِ فَصَلَّى الْعِشَاءَ، ثُمَّ نَامَ فَلَمْ يَأْكُلْ وَلَمْ يَشْرَبْ، حَتَّى أَصْبَحَ فَأَصْبَحَ صَائِمًا، فَرَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ جَهِدَ جَهْدًا شَدِيدًا، فَقَالَ: مَا لِي أَرَاكَ قَدْ جَهِدْت جَهْدًا شَدِيدًا؟ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي عَمِلْتُ أَمْسِ فجئتُ حِينَ جئتُ فألقيتُ نَفْسِي فَنِمْتُ فَأَصْبَحْتُ حِينَ أَصْبَحْتُ صَائِمًا. قَالَ: وَكَانَ عُمَرُ قَدْ أَصَابَ مِنَ النِّسَاءِ بَعْدَ مَا نَامَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} إِلَى قَوْلِهِ: {ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ}
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Al-Mas’udi, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Murrah, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Mu’az ibnu Jabal Radhiyallahu Anhu yang menceritakan bahwa ibadah salat difardukan melalui tiga tahapan, dan ibadah puasa difardukan melalui tiga tahapan pula. Adapun mengenai tahapan-tahapan ibadah salat ialah ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tiba di Madinah, maka beliau Shalallahu’alaihi Wasallam salat dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis selama tujuh belas bulan. Kemudian Allah Swt. menurunkan kepadanya ayat berikut, yaitu firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. (Al-Baqarah: 144), hingga akhir ayat. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memalingkannya ke arah Mekah; hal ini merupakan tahapan pertama. Mu’az ibnu Jabal Radhiyallahu Anhu melanjutkan kisahnya, bahwa pada mulanya mereka berkumpul menunaikan salat dengan cara sebagian dari mereka mengundang sebagian lainnya hingga akhirnya mereka membuat kentong atau hampir saja mereka membuat kentong untuk tujuan tersebut. Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Ansar —yang dikenal dengan nama Abdullah ibnu Zaid ibnu Abdu Rabbih— datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam Lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku suatu peristiwa yang jika aku tidak tidur, niscaya aku percaya kepada apa yang kulihat itu. Sesungguhnya ketika aku dalam keadaan antara tidur dan terjaga, tiba-tiba aku melihat seseorang yang memakai baju rangkap yang kedua-duanya berwarna hijau. Lelaki itu menghadap ke arah kiblat, lalu mengucapkan. ‘Allahu Akbar, Allahu Akbar (Allah Mahabesar, Allah Mahabesar), asyhadu alia ilaha illallah (aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah).’ Ia membacanya dua kali-dua kali hingga selesai azannya. Kemudian berhenti sesaat. Setelah itu ia mengucapkan hal yang sama, hanya kali ini dia menambahkan kalimat qad qamatis salah (sesungguhnya salat akan didirikan) sebanyak dua kali.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Ajarkanlah itu kepada Bilal, maka Bilal menyerukan azan dengan kalimat ini. Maka Bilal adalah orang yang mula-mula menyerukan azan dengan kalimat ini. Mu’az ibnu Jabar Radhiyallahu Anhu melanjutkan kisahnya, bahwa lalu datanglah Umar ibnul Khattab Radhiyallahu Anhu dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pun pernah bermimpi melihat seperti apa yang dilihatnya, hanya dia lebih dahulu dariku.” Hal yang telah kami sebutkan di atas merupakan dua tahapan, yaitu tahapan pertama dan kedua. Mu’az ibnu Jabal Radhiyallahu Anhu melanjutkan kisahnya, bahwa pada mulanya para sahabat sering datang terlambat di tempat salat; mereka datang ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam telah menyelesaikan sebagian dari salatnya. Maka seorang lelaki dari mereka bertanya kepada salah seorang yang sedang salat melalui isyarat yang maksudnya ialah berapa rakaat salat yang telah dikerjakan. Lelaki yang ditanya menjawabnya dengan isyarat satu atau dua rakaat. Lalu dia mengerjakan salat yang tertinggal itu sendirian, setelah itu ia baru masuk ke dalam jamaah, menggabungkan diri bermakmum kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam Perawi mengatakan, lalu datanglah Mu’az dan berkata, “Tidak sekali-kali ada suatu tahapan yang baru yang dialami oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melainkan aku terlibat di dalamnya.” Pada suatu hari ia datang, sedangkan Nabi Shalallahu’alaihi Wasallam telah mendahuluinya dengan sebagian salatnya. Maka Mu’az langsung ikut bermakmum kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam Setelah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyelesaikan salatnya, bangkitlah Mu’az melanjutkan salatnya yang ketinggalan. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Sesungguhnya Mu’az telah membuat suatu peraturan bagi kalian, maka tirulah oleh kalian perbuatannya itu (yakni langsung masuk ke dalam berjamaah; apabila imam selesai dari salatnya, baru ia menyelesaikan rakaat yang tertinggal sendirian). Hal yang ketiga ini merupakan tahapan terakhir dari salat.
Keadaan-keadaan atau tahapan yang dialami oleh ibadah puasa ialah ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tiba di Madinah, beliau puasa tiga hari setiap bulannya, juga puasa ‘Asyura. Kemudian Allah mewajibkan puasa atasnya melalui firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa —sampai dengan firman-Nya— Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 183-184) Pada mulanya orang yang menghendaki puasa, ia boleh puasa; dan orang yang tidak ingin puasa, maka ia memberi makan seorang miskin sebagai ganti dari puasanya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat lain, yaitu firman-Nya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an —sampai dengan firman-Nya— Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185) Maka Allah menetapkan kewajiban puasa atas orang mukim yang sehat, dan memberikan keringanan kepada orang yang sakit dan orang yang sedang bepergian, serta ditetapkan memberi makan orang miskin bagi lansia yang tidak kuat lagi melakukan puasa. Demikianlah dua tahapan yang dialami oleh puasa. Pada mulanya mereka masih boleh makan, minum, dan mendatangi istri selagi mereka belum tidur; tetapi apabila telah tidur, mereka dilarang melakukan hal tersebut. Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Ansar yang dikenal dengan nama Sirmah. Dia bekerja di siang harinya sambil puasa hingga petang hari, lalu ia pulang ke rumah dan salat Isya, kemudian ketiduran dan belum sempat lagi makan dan minum karena terlalu lelah hingga keesokan harinya. Keesokan harinya ia melanjutkan puasa-nya, maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melihat dirinya dalam keadaan sangat kepayahan, lalu beliau Shalallahu’alaihi Wasallam bertanya, “Kulihat dirimu tampak sangat payah dan letih.” Sirmah menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kemarin aku bekerja, setelah datang ke rumah aku langsung merebahkan diri karena sangat lelah, tetapi aku ketiduran hingga pagi hari dan aku terus dalam keadaan puasa.” Disebutkan pula bahwa Umar telah menggauli istrinya sesudah tidur, lalu ia datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan menceritakan apa yang telah dialaminya itu. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian —sampai dengan firman-Nya— kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam hari. (Al-Baqarah: 187).
Hadis ini diketengahkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab Sunan-nya, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. melalui hadis Al-Mas’udi dengan lafaz yang sama.
Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang mengatakan:
كَانَ عَاشُورَاءُ يُصَامُ، فَلَمَّا نَزَلَ فَرْضُ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
Pada mulanya puasa ‘Asyura diwajibkan. Ketika turun wahyu yang mewajibkan puasa bulan Ramadan, maka orang yang ingin puasa ‘Asyura boleh melakukannya; dan orang yang ingin berbuka, boleh tidak puasa ‘Asyura.
Imam Bukhari sendiri meriwayatkannya pula melalui Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud dengan lafaz yang semisal.
**************
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ}
Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184)
Seperti yang dijelaskan oleh Mu’az ibnu Jabal, yaitu ‘pada mulanya barang siapa yang ingin puasa, maka ia boleh puasa; dan barang siapa yang tidak ingin puasa, maka ia harus memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya’.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari melalui Salamah ibnul Akwa’ yang menceritakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) Maka bagi orang yang hendak berbuka, ia harus menebusnya dengan fidyah hingga turunlah ayat yang selanjutnya, yaitu berfungsi me-nasakh-nya.
Telah diriwayatkan pula melalui hadis Ubaidillah, dari Nafi, dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan bahwa memang ayat ini di-mansukh oleh ayat sesudahnya.
As-Saddi meriwayatkan dari Murrah, dari Abdullah ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya:. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184)
Yang dimaksud dengan yutiqunahu ialah mengerjakannya dengan penuh masyaqat (berat). Orang yang ingin puasa, mengerjakan puasa; dan orang yang ingin berbuka, maka ia berbuka dan memberi makan seorang miskin sebagai fidyah. Yaitu yang dimaksud dengan firman-Nya: Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan. (Al-Baqarah: 184) Yakni barang siapa yang memberi makan seorang miskin lagi, maka itulah yang lebih baik baginya, tetapi berpuasa lebih baik bagi kalian (daripada berbuka dan memberi makan seorang miskin). (Al-Baqarah: 184)
Pada mulanya mereka tetap dalam keadaan demikian hingga ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya: Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)
Imam Bukhari mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Dinar, dari Ata; ia pernah mendengar Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) Lalu Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini tidak di-mansukh, yaitu berkenaan bagi manula laki-laki dan perempuan yang tidak mampu mengerjakan ibadah puasa, maka keduanya harus memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.
Hal yang sama diriwayatkan pula bukan hanya oleh seorang ulama, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas.
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim ibnu Sulaiman, dari Asy’as ibnu Si war, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini (yakni firman-Nya): Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) diturunkan berkenaan dengan manula yang tidak kuat puasa; jika puasa, keadaannya sangat lemah. Maka Allah memberinya keringanan boleh berbuka dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Muhammad ibnu Bahran Al-Makhzumi, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Abdullah, dari Ibnu Abu Laila yang menceritakan, “Ata masuk menemuiku dalam bulan Ramadan, sedangkan dia tidak berpuasa, lalu ia mengatakan, ‘Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 185) diturunkan me-nasakh ayat yang sebelumnya, kecuali orang yang sudah lanjut usia; maka jika ingin berbuka, ia boleh berbuka dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya’.”
Kesimpulan bahwa nasakh berlaku bagi orang sehat yang mukim di tempat tinggalnya harus puasa karena berdasarkan firman-Nya: Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)
Orang yang sudah sangat lanjut usia dan tidak mampu melakukan puasa, boleh berbuka dan tidak wajib qada baginya karena keadaannya bukanlah seperti keadaan orang yang mampu mengqadainya. Tetapi bila ia berbuka, apakah wajib baginya memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya, jika memang dia orang yang lemah kondisinya karena usia yang sudah tua? Ada dua pendapat di kalangan ulama sehubungan dengan masalah ini. Pertama, tidak wajib baginya memberi makan seorang miskin, mengingat kondisinya lemah, tidak kuat melakukan puasa karena pengaruh usia yang sudah sangat tua; maka tidak wajib baginya membayar fidyah, perihalnya sama dengan anak kecil. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak sekali-kali mernbebankan kepada seseorang melainkan sebatas kemampuannya. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat Imam Syafii. Kedua, pendapat yang sahih dan di-jadikan pegangan oleh kebanyakan ulama, yaitu wajib baginya membayar fidyah setiap hari yang ditinggalkannya. Seperti penafsiran ibnu Abbas dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf berdasarkan qiraat orang-orang yang membacakan wa’alal lazina yufiqunahu, yakni berat menjalankannya.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Mas’ud dan lain-lain-nya. Hal ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Imam Bukhari, karena Imam Bukhari mengatakan, “Adapun orang yang berusia lanjut, bila tidak mampu mengerjakan puasa, maka dia harus memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Sesungguhnya Anas sesudah usianya sangat lanjut, setiap hari yang ditinggalkannya ia memberi makan seorang miskin berupa roti dan daging, lalu ia sendiri berbuka (tidak puasa); hal ini dilakukannya selama satu atau dua tahun.”
Riwayat yang dinilai mu’allaq oleh Imam Bukhari ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafiz Abu Ya’la Al-Mausuli di dalam kitab Musnad-nya. Untuk itu dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Mu’az, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Imran, dari Ayyub ibnu Abu Tamimah yang menceritakan bahwa Anas Radhiyallahu Anhu tidak mampu mengerjakan puasa karena usianya yang sangat lanjut, maka ia memasak makanan Sarid dalam panci, lalu ia memanggil tiga puluh orang miskin dan memberi mereka makan.
Asar ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid, dari Rauh ibnu Ubadah, dari Imran (yakni Ibnu Jarir), dari Ayyub dengan lafaz yang sama.
Abdu meriwayatkan pula melalui hadis Sittah, bersumber dari murid-murid Anas, dari Anas hal yang semakna.
Termasuk ke dalam pengertian ini ialah wanita yang sedang hamil dan yang sedang menyusui, jika keduanya merasa khawatir terhadap kesehatan dirinya atau kesehatan anaknya. Sehubungan dengan keduanya para ulama berselisih pendapat. Sebagian dari mereka mengatakan, keduanya boleh berbuka, tetapi harus membayar fidyah dan qada. Menurut pendapat lainnya, keduanya hanya diwajibkan membayar fidyah, tanpa ada qada. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa yang wajib hanya qadanya saja, tanpa fidyah. Sedangkan pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya boleh berbuka (tidak puasa) tanpa harus membayar fidyah dan qada. Masalah ini telah kami bahas secara rinci di dalam Kitabus Siyam yang kami pisahkan di dalam kitab yang lain.
Demikian pembahasan kita kali ini mengenai Tafsir Surah Al-Baqarah ayat 183-184 Imam Ibnu Katsir. Semoga dapat memberi pencerahan dalam memahami tafsir surah al baqarah ayat 183-184. Terima kasih atas perhatian dan waktunya, jangan lupa bagikan artikel ini ke sosial media kamu yah.