Tafsir Surat Al-Maidah ayat 3 Imam Ibnu Katsir |
Tafsir Surat Al-Maidah ayat 3 Imam Ibnu Katsir
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (3)
Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, dan (diharamkan bagi kalian) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agama kalian, sebab itu janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian NikmatKu. dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa. sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya melalui kalimat berita ini yang di dalamnya terkandung larangan memakan bangkai-bangkai yang diharamkan. Yaitu hewan yang mati dengan sendirinya tanpa melalui proses penyembelihan, juga tanpa melalui proses pemburuan. Hal ini tidak sekali-kali diharamkan, melainkan karena padanya terkandung mudarat (bahaya), mengingat darah pada hewan-hewan tersebut masih tersekap di dalam tubuhnya; hal ini berbahaya bagi agama dan tubuh. Untuk itulah maka Allah mengharamkannya.
Tetapi dikecualikan dari bangkai tersebut yaitu ikan, karena ikan tetap halal, baik mati karena disembelih ataupun karena penyebab lainnya.
Hal ini berdasarkan kepada apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta ‘-nya, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad di dalam kitab musnad masing-masing, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah di dalam kitab sunnah mereka, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahih masing-masing, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah ditanya mengenai air laut. Maka beliau Shalallahu’alaihi Wasallam menjawab:
“هُوَ الطَّهُور مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ
Laut itu airnya suci dan menyucikan lagi halal bangkainya.
Hal yang sama dikatakan terhadap belalang (yakni bangkainya), menurut hadis yang akan dikemukakan berikutnya.
****
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{وَالدَّمُ}
Dan darah. (Al-Maidah: 3)
Yang dimaksud dengan darah ialah darah yang dialirkan. Sama pengertiannya dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:
{أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا}
Atau darah yang mengalir. (Al-An’am: 145)
Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan Sa’id ibnu Jubair.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab Al-Mizhaji, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa’id ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Amr (yakni Ibnu Qais), dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah ditanya mengenai limpa. Maka ia menjawab, “Makanlah limpa itu oleh kalian.” Mereka berkata, ‘Tetapi limpa itu adalah darah?” Maka Ibnu Abbas menjawab, “Sesungguhnya yang diharamkan atas kalian itu hanyalah darah yang mengalir.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Hammad ibnu Salamah, dari Yahya ibnu Sa’id, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa sesungguhnya darah yang dilarang itu hanyalah darah yang mengalir.
قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيسَ الشَّافِعِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “أحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ ودمان، فأما الميتتان فالحوت والجراد، وأما الدمان فَالْكَبِدُ وَالطُّحَالُ”.
Abu Abdullah Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar secara marfu’ bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam telah bersabda: Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai yaitu ikan dan belalang, dan dua jenis darah yaitu hati dan limpa.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Ibnu Majah, Ad-Daruqutni, dan Imam Baihaqi melalui hadis Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam yang menurut Imam Baihaqi dinilai daif. Diriwayatkan oleh Ismail ibnu Abu Idris, dari Usamah, Abdullah dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara marfu’. Menurut kami, ketiga-tiganya daif tetapi sebagian dari mereka lebih baik daripada sebagian yang lain.
Sulaiman ibnu Bilal —salah seorang yang dinilai Sabat (kuat)— telah meriwayatkannya dari Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara mauauf hanya sampai pada Ibnu Umar menurut sebagian dari mereka. Menurut Abu Zar’ah Ar-Razi, yang mengatakan mauquf lebih sahih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Abusy Syawarib, telah menceritakan kepada kami Basyir ibnu Syuraih, dari Abu Galib, dari Abu Umamah (yaitu Sada ibnu Ajlan) yang menceritakan, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah mengutusku kepada suatu kaum untuk menyeru mereka kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengajarkan kepada mereka syariat Islam. Lalu aku datang kepada mereka. Ketika kami sedang bertugas, tiba-tiba mereka datang membawa sepanci darah yang telah dimasak (manis), kemudian mereka mengerumuninya dan menyantapnya. Mereka berkata, ‘Kemarilah hai Sada, makanlah bersama kami’.” Sada berkata, “Celakalah kalian, sesungguhnya aku datang kepada kalian dari seseorang (Nabi) yang mengharamkan makanan ini atas kalian, maka terimalah larangan darinya ini.” Mereka bertanya, “Apakah hal yang melarangnya?” Maka aku (Sada) membacakan kepada mereka ayat ini, yaitu firman-Nya: Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai dan darah. (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayat.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Abusy Syawarib berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal. Ia menambahkan sesudah konteks ini bahwa Sada melanjutkan kisahnya, “Maka aku bangkit mengajak mereka untuk masuk Islam, tetapi mereka membangkang terhadapku, lalu aku berkata, ‘Celakalah kalian ini, berilah aku air minum, karena sesungguhnya aku sangat haus.’ Saat itu aku memakai jubah ‘abayah-ku. Mereka menjawab, ‘Kami tidak mau memberimu air minum dan kami akan biarkan kamu hingga mati kehausan.’ Maka aku menderita (karena kehausan), lalu aku tutupkan kain ‘abayah-ku ke kepalaku dan tidur di padang pasir di panas yang sangat terik. Dalam tidurku aku bermimpi kedatangan seseorang yang datang membawa sebuah wadah dari kaca yang sangat indah dan belum pernah dilihat oleh manusia. Di dalam wadah itu terdapat minuman yang manusia belum pernah merasakan minuman yang selezat itu. Lalu orang tersebut menyuguhkan minuman itu kepadaku dan aku langsung meminumnya. Setelah selesai minum, aku terbangun. Demi Allah, aku tidak merasa kehausan lagi dan tidak pernah telanjang (tidak berpakaian) lagi sesudah mereguk minuman tersebut.”
Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya, dari Ali ibnu Hammad, dari Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Salamah ibnu Ayyasy Al-Amiri, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Haram, dari Abu Galib, dari Abu Umamah, lalu ia menuturkan hadis yang semisal. Menurut riwayat ini ditambahkan sesudah kalimat “sesudah mereguk minuman tersebut” hal berikut, yaitu: “Maka aku (Sada) mendengar mereka mengatakan, ‘Orang yang datang kepada kalian ini dari kalangan orang hartawan kalian. Mengapa kalian tidak menyuguhkan minuman susu dan air kepadanya?” Maka mereka menyuguhkan minuman air susu yang dicampur dengan air, dan aku katakan kepada mereka, ‘Aku tidak memerlukannya lagi. Sesungguhnya Allah telah memberiku makan dan minum.’ lalu aku perlihatkan kepada mereka perutku, hingga semuanya percaya bahwa aku telah kenyang.”
Alangkah baiknya apa yang didendangkan oleh Al-A’sya (seorang penyair) dalam qasidah (syair)nya yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishak, yaitu:
وإياكَ وَالْمَيْتَاتِ لَا تقربنَّها … وَلَا تَأْخُذَنَّ عَظْمًا حَدِيدًا فَتَفْصِدَا …
Hindarilah olehmu bangkai-bangkai itu, jangan sekali-kali kamu mendekatinya,
Dan jangan sekali-kali kamu mengambil tulang yang tajam, lalu kamu menyedot darah (ternak yang hidup).
Dengan kata lain, janganlah kamu lakukan perbuatan Jahiliah. Demikian itu karena seseorang dari mereka bila merasa lapar, ia mengambil sesuatu yang tajam dari tulang dan lainnya, kemudian ia menyedot darah ternak untanya atau ternak dari jenis lainnya. Kemudian ia kumpulkan darah yang keluar dari ternak itu, lalu meminumnya. Karena itulah Allah rnengharamkan darah atas umat ini. Kemudian Al-Asya’ mengatakan pula:
وَذَا النّصُب المنصوبَ لَا تَأتينّه … وَلَا تَعْبُدِ الْأَصْنَامَ وَاللَّهَ فَاعْبُدَا …
Dan tugu yang dipancangkan itu jangan sekali-kali kamu datangi,
Dan janganlah kamu sembah berhala, tetapi sembahlah Allah dengan sebenar-benarnya.
*****
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,:
{وَلَحْمُ الْخِنزيرِ}
Dan daging babi. (Al-Maidah: 3)
Yaitu baik yang jinak maupun yang liar. Pengertian lahm mencakup semua bagian tubuh babi, hingga lemaknya. Dalam hal ini tidak diperlukan pemahaman yang ‘sok pintar’ dari kalangan mazhab Zahiri dalam kestatisan mereka menanggapi ayat ini dan pandangan mereka yang keliru dalam memahami makna firman-Nya:
{فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا}
—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang. (Al-An’am: 145)
Dalam konteks firman-Nya:
{إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ}
Kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi —karena sesungguhnya semuanya itu kotor— (Al-An’am: 145)
Mereka merujukkan damir yang ada pada lafaz fainnahu kepada lafaz khinzir dengan maksud agar mencakup semua bagian tubuhnya. Padahal pemahaman ini jauh dari kebenaran menurut penilaian lugah (bahasa), karena sesungguhnya damir itu tidak dapat dirujuk kecuali kepada mudaf, bukan mudafilaih.
Menurut pengertian lahiriah, kata ‘daging’ mempunyai pengertian yang mencakup semua anggota tubuh dalam terminologi bahasa, juga menurut pengertian tradisi yang berlaku.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Buraidah ibnul Khasib Al-Aslami Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:
“مَنْ لَعِبَ بالنردَشير فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَدَهُ فِي لَحْمِ الْخِنْزِيرِ وَدَمِهِ”
Barang siapa yang bermain nartsyir (karambol), maka seakan-akan mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi.
Dengan kata lain, bilamana peringatan ini hanya sekadar menyentuh, maka dapat dibayangkan kerasnya ancaman dan larangan bila memakan dan menyantapnya. Di dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan mencakup pengertian daging terhadap semua anggota tubuh, termasuk lemak dan lain-lainnya.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:
“إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ”. فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ، فَإِنَّهَا تُطْلَى بِهَا السُّفُنُ، وَتُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ، ويَسْتَصبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَالَ: “لَا هُوَ حَرَامٌ“.
Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamr. bangkai, daging babi, dan berhala. Maka diajukan pertanyaan, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu tentang lemak bangkai? Karena sesungguhnya lemak bangkai dipakai sebagai dempul untuk melapisi perahu dan dijadikan sebagai minyak untuk kulit serta dipakai sebagai minyak lampu penerangan oleh orang-orang,” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: Jangan, itu (tetap) haram.
Di dalam kitab Sahih Bukhari melalui hadis Abu Sufyan disebutkan bahwa Abu Sufyan mengatakan kepada Heraklius, Raja Romawi, “Beliau (Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam) melarang kami memakan bangkai dan darah.”
****
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ}
(dan daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (Al-Maidah: 3)
Yaitu hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, hewan tersebut menjadi haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharuskan bila makhluk-Nya disembelih agar disebut asma-Nya Yang Mahaagung.
Oleh karena itu, manakala hal ini disimpangkan (diselewengkan) dan disebutkan pada hewan tersebut nama selain Allah ketika hendak menyembelihnya, misalnya nama berhala atau tagut atau wasan atau makhluk lainnya, maka sembelihan itu hukumnya haram menurut kesepakatan semua.
Para ulama hanya berselisih pendapat mengenai tidak membaca tasmiyah (Basmalah) dengan sengaja atau lupa, seperti yang akan diterangkan nanti dalam tafsir surat Al-An’am.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan As-Sanjani, telah menceritakan kepada kami Na’im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Al-Walid ibnu Jami’, dari Abut Tufail yang mengatakan bahwa Nabi Adam diturunkan dalam keadaan diharamkan empat perkara, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih atas nama selain Allah. Sesungguhnya keempat perkara ini belum pernah dihalalkan sama sekali, dan masih tetap haram sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Ketika zaman kaum Bani Israil, Allah mengharamkan atas mereka makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka, karena dosa-dosa mereka. Ketika Allah mengutus Nabi Isa ibnu Maryam ‘alaihissalam, ia mengembalikan kepada hukum pertama yang didatangkan oleh Nabi Adam, dan dihalalkan bagi mereka selain hal-hal tersebut, tetapi mereka mendustakannya dan mendurhakainya. Asar ini dinilai garib.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Rib’i, dari Abdullah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Jarud ibnu Abu Sabrah (kakek Abdullah) meriwayatkan asar berikut, bahwa dahulu ada seorang lelaki dari kalangan Bani Rabah yang dikenal dengan nama Ibnu Wail. Dia adalah seorang penyair, ia menantang Abul Farazdaq, melakukan suatu pertandingan di sebuah mata air yang ada di luar kota Kufah. Masing-masing dari kedua belah pihak menyembelih seratus ekor untanya jika telah sampai di mata air (siapa yang paling cepat di antara keduanya, dialah yang menang). Ketika ternak unta telah sampai di mata air tersebut, keduanya bersiap-siap dengan pedang masing-masing dan mulai memegang leher ternaknya. Maka orang-orang berdatangan dengan mengendarai keledai dan begal dengan maksud ingin mendapat dagingnya. Sedangkan saat itu sahabat Ali berada di Kufah. Lalu sahabat Ali keluar dengan mengendarai hewan begal berwarna putih milik Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu ia berseru kepada orang-orang, “Hai manusia, janganlah kalian memakan dagingnya, karena sesungguhnya daging tersebut hasil sembelihan yang tidak disebutkan asma Allah padanya!”
Asar ini garib. Tetapi ada syahid yang membuktikan kesahihannya, yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud.
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ مَسْعَدة، عَنْ عَوْفٍ، عَنِ أَبِي رَيْحانة، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مُعاقرة الْأَعْرَابِ.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Mas-‘adah, dari Auf, dari Abu Raihanah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang (memakan daging) dari pertandingan orang-orang Badui menyembelih ternak unta.
Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa Muhammad ibnu Ja’far (yaitu Gundar) me-mauquf-kan hadis ini pada Ibnu Abbas. Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid.
وَقَالَ أَبُو دَاوُدَ أَيْضًا: حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَبِي الزَّرْقَاءِ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ، عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ خِرِّيتٍ قَالَ: سَمِعْتُ عِكْرِمة يَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ طَعَامِ الْمُتَبَارِيَيْنِ أَنْ يُؤْكَلَ.
Imam Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Zaid ibnu Abuz Zarqa, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Jarir ibnu Hazim, dari Az-Zubair ibnu Hurayyis yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ikrimah mengatakan: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang memakan makanan hasil pertandingan (menyembelih) yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanding.
Kemudian Abu Daud mengatakan bahwa kebanyakan orang yang meriwayatkannya —selain Ibnu Jarir— tidak menyebutkan pada sanadnya nama Ibnu Abbas. Hadis ini diriwayatkan secara munfarid pula.
****
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{وَالْمُنْخَنِقَةُ}
Dan hewan yang tercekik.(Al-Maidah: 3)
Yaitu hewan ternak yang mati tercekik, baik disengaja ataupun karena kecelakaan, misalnya tali pengikatnya mencekiknya karena ulahnya sendiri hingga ia mati; maka hewan ini haram dagingnya.
Makna lafaz {الْمَوْقُوذَةُ} mauquzah artinya hewan yang mati dipukuli dengan benda berat, tetapi tidak tajam. Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, mauauzah ialah hewan yang dipukuli dengan kayu hingga sekarat, lalu mati.
Qatadah mengatakan, orang-orang Jahiliah biasa memukuli hewannya dengan tongkat sampai mati, lalu mereka memakannya.
Di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Addi ibnu Hatim pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membidik hewan buruan dengan lembing dan mengenainya.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“إِذَا رَمَيْتَ بِالْمِعْرَاضِ فخَزَق فَكُلْه، وَإِنْ أَصَابَهُ بعَرْضِه فَإِنَّمَا هُوَ وَقِيذ فَلَا تَأْكُلْهُ”
Apabila kamu melempar (buruan) dengan lembingmu, lalu menusuknya, maka makanlah. Jika yang mengenainya adalah bagian sampingnya, sesungguhnya hewan buruan itu mati terpukul, maka janganlah kamu memakannya.
Dalam hal ini dibedakan antara sasaran yang dikenai oleh anak panah dan tombak serta sejenisnya, yakni dengan bagian yang tajamnya, maka hukumnya halal. Sedangkan hewan yang dikenai oleh bagian sampingnya maka hewan itu dihukumi mati karena terpukul, sehingga tidak halal. Demikianlah yang disepakati di kalangan ulama fiqih.
Mereka berselisih pendapat dalam masalah bila hewan pemburu menabrak hewan buruannya, lalu hewan buruan itu mati karena tubuh hewan pemburu yang berat, tanpa melukainya. Ada dua pendapat mengenainya. Imam Syafii mempunyai dua pendapat sehubungan dengan masalah ini, yaitu:
Pertama, tidak halal. Perihalnya sama dengan masalah melempar buruan dengan anak panah dan yang mengenainya adalah bagian samping dari anak panah. Segi persamaannya adalah karena masing-masing hewan itu mati tanpa dilukai, dan penyebab matinya adalah terpukul.
Kedua, halal, mengingat ketentuan hukum yang membolehkan memakan hasil buruan anjing pemburu tidak memakai rincian. Hai ini menunjukkan boleh memakan hasil buruannya yang tidak dilukai (tetapi matinya karena tertabrak oleh anjing pemburu), karena hal ini termasuk ke dalam pengertian umum dari hukum tersebut.
Sehubungan dengan masalah ini kami membuat suatu pasal khusus seperti penjelasan berikut.
Sebuah pasal:
Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan masalah bila seseorang melepaskan anjing pemburunya untuk mengejar hewan buruan, lalu hewan buruan tersebut mati karena tertabrak oleh anjing pemburu tanpa melukainya. Apakah hukum hewan buruan itu halal atau tidak? Ada dua pendapat untuk menjawabnya, seperti penjelasan berikut:
Pendapat pertama mengatakan bahwa hewan buruan tersebut halal karena termasuk ke dalam pengertian umum firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengatakan:
{فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ}
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. (Al-Maidah: 4)
Termasuk pula ke dalam pengertian umum hadis yang diceritakan oleh Addi ibnu Hatim di atas.
Demikianlah pendapat yang diriwayatkan oleh murid-murid Imam Syafii. dari Imam Syafii, dan dinilai sahih oleh sebagian kalangan ulama muta-akhkhirin, antara lain seperti Imam Nawawi dan Imam Rafii.
Menurut kami. hal tersebut kurang jelas dari pendapat Imam Syafi’i rahimahullah di dalam kitab Al-Umm dan Al-Mukhtasar. Karena sesungguhnya dalam kedua kitab tersebut ia mengatakan hal yang mengandung dua makna. Kemudian ia mengemukakan alasannya masing-masing, lalu murid-muridnya menginterpretasikannya dari keterangan tersebut Kemudian mereka mengatakan sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat darinya (Imam Syafii). Hanya saja pada pendapat yang mengatakan halal, Imam Syafii agak menonjolkan kecenderungannya; tetapi pada garis besarnya dia tidak menegaskan salah satunya, tidak pula menjelaskan pendiriannya.
Pendapat yang mengatakan halal darinya dinukil oleh Ibnus Sabbagh, dari Abu Hanifah melalui riwayat Al-Hasan ibnu Ziyad, tetapi tidak disebutkan pendapat lainnya.
Abu Ja’far ibnu Jarir, dia meriwayatkannya di dalam kitab tafsir, dari Salman Al-Farisi dan Abu Hurairah, dan Sa’d ibnu Abu Waqqas serta Ibnu Umar. Tetapi riwayat ini gorib sekali, mengingat tidak ditemukan adanya keterangan yang menjelaskan hal tersebut yang bersumberkan dari mereka, melainkan hanya keluar dari ijtihad Imam Syafii sendiri.
Pendapat kedua mengatakan bahwa hewan tersebut tidak halal. Pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang bersumber dari Imam Syafii rahimahullah Pendapat ini dipilih oleh Al-Muzanni, dan dari ulasan Ibnus Sabbag tampak jelas bahwa dia menguatkannya.
Abu Yusuf dan Muhammad meriwayatkannya dari Abu Hanifah. Pendapat ini merupakan pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad ibnu Hambal dan lebih mendekati kepada kebenaran, karena lebih sesuai dengan kaidah-kaidah Usul serta lebih menyentuh pokok-pokok syariat.
Ibnus Sabbag mengemukakan dalil untuk pendapat ini dengan sebuah hadis yang diceritakan oleh Rafi’ ibnu Khadij, yaitu:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ الله، إنا لاقو العدو غدا وليس معنا مُدًى، أَفَنَذْبَحُ بالقَصَب؟ قَالَ: “مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ”
“Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami akan bersua dengan musuh besok, sedangkan kami tidak mempunyai pisau. Bolehkah kami menyembelih dengan aasab (welat bambu)’?” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan asma Allah ketika menyembelihnya, maka makanlah sembelihan itu oleh kalian.
Hadis secara lengkapnya terdapat di dalam kitab Sahihain.
Hukum ini sekalipun dinyatakan karena penyebab yang khusus, tetapi hal yang dianggap ialah keumuman lafaznya menurut jumhur ulama usul dan ulama fiqih. Perihalnya sama dengan suatu pertanyaan yang pernah diajukan kepada Nabi Shalallahu’alaihi Wasallam mengenai al-bit’u, yaitu minuman nabiz yang terbuat dari madu.
Beliau Shalallahu’alaihi Wasallam menjawab melalui sabdanya:
“كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ”
Semua jenis minuman yang memabukkan hukumnya haram.
Maka adakah seorang ahli fiqih yang mengatakan bahwa lafaz ini hanya khusus berkaitan dengan minuman madu? Perihalnya sama saja ketika mereka bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang suatu sembelihan. Beliau menjawab mereka dengan kata-kata yang mengandung makna umum yang membuat si penanya —juga yang lainnya— berpikir mencernanya, mengingat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam telah dianugerahi jawami’ul kalim.
Apabila hal ini telah jelas, maka binatang buruan yang ditabrak oleh anjing pemburu atau yang ditindihinya dengan berat badannya (hingga) mati bukan termasuk hewan yang dialirkan darahnya. Karena itu, hewan buruan tersebut tidak halal. Demikianlah makna yang terkandung di dalam hadis ini.
Apabila dikatakan bahwa hadis yang dimaksud sama sekali bukan termasuk ke dalam bab ini, karena mereka menanyakan kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang alat yang dipakai untuk menyembelih, dan mereka tidak menanyakan tentang sesuatu yang disembelih. Karena itulah dikecualikan dari alat tersebut gigi dan kuku. Hal ini diungkapkan melalui sabdanya:
“لَيْسَ السِّنُّ وَالظُّفُرُ، وسأحدثكم عن ذلك: أما السن فعظم، وأما الظُّفُرُ فَمُدي الْحَبَشَةِ”
Tidak boleh memakai gigi dan kuku, aku akan menceritakan kepada kalian mengenainya. Adapun gigi berasal dari tulang, dan kuku adalah pisau orang-orang Habsyah.
Sedangkan mustasna menunjukkan jenis dari mustasha minhu. Jika tidak demikian, berarti tidak muttasil (berkaitan). Dengan demikian, maka hal ini menunjukkan bahwa yang ditanyakan adalah alatnya, sehingga tidak ada dalil bagi apa yang Anda sebutkan.
Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa di dalam alasan yang Anda kemukakan terkandung hal yang sulit Anda cerna, mengingat sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengatakan:
“مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ”
Alat apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan asma Allah padanya, maka makanlah oleh kalian sembelihan itu.
Dalam hadis ini tidak disebutkan, “Maka sembelihlah hewan itu dengan alat tersebut.” Dengan demikian, berarti dari hadis ini dapat disimpulkan dua hukum sekaligus, yaitu mengenai hukum alat yang dipakai untuk menyembelih dan hukum hewan yang disembelih; darahnya harus dialirkan dengan alat yang bukan berupa gigi, bukan pula kuku. Ini adalah suatu analisis.
Analisis yang kedua menurut cara Al-Muzanni, yaitu masalah anak panah dijelaskan padanya, bahwa jika binatang buruan terkena bagian sampingnya (kayunya), tidak boleh dimakan; jika tertembus oleh anak panahnya, boleh dimakan. Sedangkan dalam masalah anjing pemburu disebutkan secara mudak, karena itu masalahnya diinterpretasikan dengan rincian yang ada pada masalah anak panah, yaitu yang menembus sasarannya. Karena kedua masalah tersebut mempunyai persamaan pada subyeknya, yaitu binatang buruan, untuk itulah wajib dalam masalah ini disamakan dengan masalah anak panah, sekalipun penyebabnya berbeda. Perihalnya sama dengan wajib mengartikan mutlaknya merdeka dalam masalah zihar terhadap masalah keterikatan merdeka dengan sumpah dalam masalah pembunuhan. Bahkan dalam masalah yang sedang kita bahas ini lebih utama; hal ini akan dimengerti oleh orang yang memahami kaidah asal (pokok) mengenainya secara apa adanya. Kaidah ini tiada yang memperselisihkannya di antara para ulama yang bersangkutan secara menyeluruh. Sudah merupakan suatu keharusan bagi mereka menanggapi masalah ini. Seseorang boleh mengatakan bahwa hewan buruan ini dibunuh oleh anjing pemburu dengan berat badannya, maka hewan buruan ini tidak halal karena dikiaskan kepada masalah hewan buruan yang terbunuh oleh bagian samping anak panah (yakni terpukul olehnya). Kesamaan yang ada dalam kedua masalah ialah masing-masing dari keduanya menggunakan alat berburu, sedangkan binatang buruan mati karena beratnya alat dalam masing-masing kasus. Hal ini tidak bertentangan dengan keumuman makna ayat mengenainya, karena kias didahulukan atas keumuman makna, seperti yang dianut oleh mazhab para imam yang empat dan jumhur ulama. Analisis ini dinilai baik pula.
Analisis lainnya mengatakan bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengatakan:
{فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ}
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. (Al-Maidah: 4)
Mengandung makna yang umum mencakup hewan buruan yang mati karena luka atau lainnya. Tetapi hewan yang terbunuh dengan cara tersebut dan masih diperselisihkan kehalalannya, tidak terlepas adakalanya mati karena tertanduk atau cara lain yang sama hukumnya, atau tercekik, atau cara lain yang sama hukumnya.
Dalam keadaan bagaimanapun wajib memprioritaskan ayat ini atas dalil-dalil lainnya, karena alasan-alasan berikut:
Pertama, Pentasyri’ menetapkan hukum ayat ini dalam kasus perburuan. yaitu ketika beliau mengatakan kepada Addi ibnu Hatim, Dan Jika hewan buruan itu terkena oleh bagian sampingnya, sesungguhnya hewan itu sama dengan mati karena terpukul. Maka janganlah kamu memakannya!”
Kami belum pernah mengetahui ada seorang ulama yang memisahkan antara suatu hukum dengan hukum ayat ini, lalu ia mengatakan bahwa sesungguhnya hewan yang mati terpukul dapat dimakan bila merupakan hasil dari perburuan, sedangkan kalau yang tertanduk tidak dapat dimakan. Dengan demikian, berarti pendapat membolehkan hal yang diperselisihkan (kehalalannya) melanggar kesepakatan ijma’, bukan sebagai orang yang mendukung ijma’, dan hal ini dilarang menurut kebanyakan ulama.
Kedua, bahwa firman-Nya yang mengatakan:
{فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ}
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. (Al-Maidah: 4)
Tidak mengandung makna yang umum secara ijma’, melainkan dikhususkan bagi hewan buruan yang dapat dimakan dagingnya. Dikecualikan dari keumuman makna lafaznya hewan yang tidak boleh dimakan, menurut kesepakatan ulama. Sedangkan pengertian umum yang telah dikenal harus lebih didahulukan daripada yang tidak dikenal.
Analisis lain mengatakan bahwa binatang buruan seperti itu sama hukumnya dengan bangkai, karena darahnya tertahan, begitu pula cairan lainnya yang mengikutinya; maka hukumnya tidak halal karena dikiaskan kepada bangkai.
Analisis lainnya mengatakan bahwa ayat tahrim yang mengatakan:
{حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ}
Diharamkan bagi kalian bangkai. (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayat
Bersifat muhkam, tidak ada nasakh, dan tidak ada takhsis yang memasukinya. Demikian juga selayaknya ayat tahlil bersifat muhkam pula. Yang dimaksud dengan ayat tahlil ialah firman Allah Swt.:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
Mereka menanyakan kepadamu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik.” (Al-Maidah: 4), hingga akhir ayat.
Sudah selayaknya tidak boleh ada pertentangan di antara keduanya secara mendasar, dan datanglah peran sunnah yang menjelaskan hal tersebut.
Sebagai buktinya ialah disebutkan dalam kisah berburu memakai anak panah hukum yang termasuk ke dalam makna ayat ini, yaitu bila hewan buruan tersebut tertembus oleh anak panah, maka hukumnya halal karena termasuk ke dalam pengertian tayyibat (yang baik-baik). Sedangkan dalam waktu yang sama ada pula pada hadis ini pengertian yang termasuk ke dalam hukum ayat tahrim. Yaitu bilamana hewan buruan mati terkena bagian sampingnya, maka ia tidak boleh dimakan, karena sama saja dengan mati terpukul. Dengan demikian, masalahnya termasuk ke dalam salah satu dari rincian makna ayat tahrim.
Demikian pula sudah seharusnya disamakan hukum hewan buruan yang dilukai oleh anjing pemburu, maka hewan buruan tersebut termasuk ke dalam hukum ayat tahlil. Jika tidak dilukai, melainkan ditabrak —atau binatang buruan mati karena tertanduk— atau hal lainnya yang sama hukumnya, maka hewan buruan tersebut tidak halal.
Jika ditanyakan, “Mengapa tidak ada rincian dalam hukum berburu memakai anjing pemburu? Tetapi menurut kalian, bila hewan buruan dilukai, hukumnya halal; dan bila tidak dilukai, hukumnya haram?”
Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa hal tersebut jarang, mengingat anjing pemburu selalu membunuh hewan buruannya dengan kuku atau dengan taring atau dengan keduanya. Sedangkan deraan cara menabrak hewan buruannya, hal ini jarang sekali terjadi. Jarang pula terjadi anjing pemburu membunuh hewan buruannya dengan menindihnya. Karena itu, tidak diperlukan adanya pengecualian hal seperti itu, mengingat kejadiannya sangat langka. Atau memang masalahnya sudah jelas hukumnya bagi orang yang mengetahui haramnya bangkai, hewan yang mati tercekik, hewan yang mati terpukul, hewan yang mati jatuh dari ketinggian, dan hewan yang mati karena tertanduk.
Mengenai masalah berburu memakai anak panah (tombak), adakalanya si pelempar (pemburu) melenceng bidikannya karena kurang pandai atau sengaja bermain-main atau karena lain-lainnya, bahkan kelirunya lebih banyak daripada mengenai buruannya. Karena itulah masing-masing hukumnya disebutkan secara rinci.
Karena itulah anjing pemburu itu adakalanya memakan sebagian binatang buruannya. Maka disebutkan hukumnya secara rinci, yaitu apabila anjing pemburu memakan sebagian dari binatang buruannya. Untuk itu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“إِنْ أَكَلَ فَلَا تَأْكُلْ، فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ”
Jika anjing itu memakannya, maka janganlah kamu makan, karena sesungguhnya aku merasa khawatir bila anjing itu menangkap buruan untuk dirinya sendiri (bukan untuk tuan yang melepaskannya).
Hadis ini sahih dan terdapat di dalam kitab Sahihain.
Hukum yang disebutkan dalam hadis ini pun merupakan takhsis dari keumuman makna ayat tahlil menurut kebanyakan ulama. Mereka mengatakan, tidak halal hasil buruan yang anjing pemburunya memakannya. Demikian riwayat yang bersumber dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan oleh Al-Hasan, Asy-Sya’bi, dan An-Nakha’i. Pendapat ini pulalah yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah dan kedua temannya, juga Imam Ahmad ibnu Hambal dan Imam Syafii menurut pendapat yang terkenal darinya.
Ibnu Jarir meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya, dari Ali, Sa’id, Salman, dan Abu Hurairah, Ibnu Umar serta Ibnu Abbas radhiyallahu anhum, bahwa binatang buruan boleh dimakan sekalipun anjing pemburunya memakan sebagian darinya. Hingga Sa’id, Salman, dan Abu Hurairah serta lain-lainnya mengatakan bahwa hewan buruan masih boleh dimakan sekalipun tiada yang tersisa kecuali hanya sepotong daging saja.
Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik, dan Imam Syafii dalam qaul qadim-nya mengatakan masalah ini. Tetapi dalam qaul jadid-nya. hanya mengisyaratkan kepada dua pendapat Demikian itu kata Imam Abu Nasr ibnu Sabbag dan lain-lainnya dari kalangan teman-temannya. Imam Abu Daud telah meriwayatkan dalam pendapatnya yang didasari dengan hadis yang bersanadkan jayyid lagi kuat dari Abu Sa’labah Al-Khusyani, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
Disebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda mengenai anjing pemburu:
“إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُلْ وَإِنْ أَكَلَ مِنْهُ، وَكُلْ مَا رَدَّتْ عَلَيْكَ يَدُكَ”
Apabila kamu melepaskan anjing pemburumu dan kamu menyebutkan nama Allah, maka makanlah (hasil buruannya), sekalipun anjingmu memakan sebagian darinya, dan makan (pulalah) apa yang kamu tarik dengan tanganmu.
Imam Nasai meriwayatkannya pula melalui hadis Amr ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa seorang Arab Badui yang dikenal dengan nama Abu Sa’labah bertanya.”Wahai Rasulullah,” lalu ia menyebutkan hadis yang semisal.
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ جَرِيرٍ فِي تَفْسِيرِهِ: حَدَّثَنَا عِمْرَانُ بْنُ بَكَّار الكَلاعِيّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُوسَى-هُوَ اللَّاحُونِيُّ-حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ -هُوَ الطَّاحِيُّ-عَنْ أَبِي إِيَاسٍ -وَهُوَ مُعَاوِيَةُ بْنُ قُرَّةَ-عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “إِذَا أَرْسَلَ الرَّجُلُ كَلْبَهُ عَلَى الصَّيْدِ فَأَدْرَكَهُ وَقَدْ أَكَلَ مِنْهُ، فَلْيَأْكُلْ مَا بَقِيَ.
Muhammad ibnu Jarir mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Bakkar Al-Kala’i, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Musa (yaitu Al-Lahuni), telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar (yakni At-Tahii). dari Abu Iyas (yaitu Mu’awiyah ibnu Qurrah), dari Sa’id ibnul Musayyab, dari Salman Al-Farisi, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang telah bersabda: Bilamana seorang lelaki melepaskan anjing pemburunya terhadap hewan buruan, lalu anjing dapat menangkapnya dan memakan sebagian dari hewan buruannya, maka hendaklah ia memakan sisanya.
Kemudian Ibnu Jarir menganalisis hadis ini, bahwa hadis ini telah diriwayatkan oleh Qatadah dan lain-lainnya, dari Sa’id ibnul Musayyab, dari Salman secara mauquf.
Adapun pendapat jumhur ulama, mereka mendahulukan hadis Addi atas hadis ini, dan mereka menganggap daif hadis Abu Sa’labah dan lain-lainnya.
Tetapi sebagian ulama ada yang mengulasnya, jika anjing pemburu memakan hewan buruannya sesudah lama menunggu tuannya dan ternyata masih belum datang juga, lalu ia memakannya karena lapar dan faktor lainnya, maka hewan buruan tersebut hukumnya tidak mengapa (halal); demikianlah rinciannya secara panjang lebar. Karena dalam keadaan seperti itu tidak dikhawatirkan bahwa anjing tersebut menangkap hewan buruannya hanya untuk dirinya sendiri. Lain halnya jika anjing pemburu memakannya begitu dia menangkap hewan buruannya; dalam keadaan seperti ini tampak jelas bahwa dia menangkap hewan buruan itu untuk dirinya sendiri.
Mengenai burung-burung pemangsa —menurut nas Imam Syafii— sama hukumnya dengan anjing pemburu. Dengan kata lain. haram hukumnya bila ia memakannya, menurut jumhur ulama; dan tidak haram, menurut ulama lainnya.
Al-Muzanni dari kalangan teman kami memilih pendapat yang mengatakan tidak haram memakan hasil buruan burung pemangsa yang telah dimakan sebagiannya oleh burung yang memangsanya dan hewan pemburu lainnya. Pendapat ini dikatakan oleh mazhab Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Mereka mengatakan bahwa dikatakan demikian karena tidak mungkin mengajari burung pemangsa seperti mengajari anjing pemburu, misalnya memakai sarana pemukul dan sarana lainnya yang digunakan untuk mengajari anjing. Lagi pula burung pemangsa yang dijadikan hewan pemburu tidak mengetahui melainkan dia memakan sebagian dari binatang buruannya, karena itu keadaannya dimaafkan. Nas yang ada hanyalah menyebutkan rincian tentang anjing pemburu, bukan burung pemburu.
Syekh Abu Ali mengatakan di dalam kitab Ifsah-nya, jika kita katakan haram memakan hewan buruan yang telah dimakan oleh anjing pemburu sebagiannya, maka dalam masalah hewan buruan yang dimakan oleh burung pemburu ada dua pendapat. Tetapi Abut Tayyib Al-Qadi menolak adanya rincian dan urutan ini pada nas Imam Syafii yang menunjukkan adanya persamaan di antara keduanya.
*****
Yang dimaksud dengan {الْمُتَرَدِّيَةُ}mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh dari ketinggian atau tempat yang tinggi, lalu mati, hukumnya tidak halal.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh dari atas bukit.
Qatadah mengatakan bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh ke dalam sumur.
As-Saddi mengatakan bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh dari bukit atau terperosok ke dalam sumur yang dalam, lalu mati.
{النَّطِيحَةُ} Natihah artinya hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya, maka hewan ini haram hukumnya, sekalipun terluka oleh tanduk dan darahnya keluar, sekalipun dari bagian penyembelihannya.
Natihah ber-wazan fa’ilah. sedangkan maknanya maf’ulah,yakni مَنْطُوحَةٍ(hewan yang ditanduk). Bentuk lafaz ini kebanyakan di kalangan orang-orang Arab dalam pemakaiannya tidak memakai huruf ta ta-nis. mereka mengucapkannya ‘ainun kahllun (mata yang bercelak), kaffun khadibun (tangan yang memakai pacar). Mereka tidak mengucapkannya kaffun khadibah, tidak pula ‘ainun kahilah. Dalam lafaz ini sebagian kalangan ahli Nahwu mengatakan bahwa sesungguhnya pemakaian ta ta-nis dalam lafaz ini tiada lain karena dikategorikan ke dalam isim, sama halnya dengan perkataan mereka tariqa-tun tawilah (jalan yang panjang).
Sebagian lain dari kalangan ahli Nahwu mengatakan bahwa sesungguhnya pemakaian ta ta-nis dalam lafaz ini hanyalah untuk menunjukkan arti ta-nis sejak pemakaian semula, lain halnya dengan lafaz ‘ainun kahilun dan kaffun khadibun, karena ta ta-nis telah dimengerti dari permulaan pembicaraan.
****
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ}
Dan yang diterkam binatang buas. (Al-Maidah: 3)
Artinya, hewan yang diterkam oleh singa atau harimau atau macan tutul atau oleh serigala atau oleh anjing liar, lalu dimakan sebagiannya dan mati, maka hewan tersebut haram hukumnya, sekalipun telah mengalir darahnya; dan yang dilukai pada bagian penyembelihannya, hukumnya tetap tidak halal menurut kesepakatan.
Dahulu orang-orang Jahiliah memakan lebihan dari apa yang dimangsa oleh binatang pemangsa, baik yang dimangsa itu kambing, atau unta atau sapi atau ternak lainnya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan hal itu bagi kaum mukmin.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ}
Kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, f Al-Maidah: 3)
Istisna dalam lafaz ayat ini kembali kepada apa yang mungkin pengembaliannya dari hal-hal yang telah ditetapkan menjadi penyebab kematiannya, lalu sempat ditanggulangi dengan menyembelihnya, sedangkan hewan yang dimaksud masih dalam keadaan hidup yang stabil. Tempat kembali dari istisna ini tiada lain hanyalah pada firman-Nya:
{وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ}
Hewan yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas. (Al-Maidah: 3)
Ali ibnu AbuTalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Kecuali yang sempat kalian menyembelihnya. (Al-Maidah: 3); Yakni kecuali hewan-hewan tersebut yang kalian sempat menyembelihnya, sedangkan pada tubuhnya masih terdapat rohnya. Maka makanlah oleh kalian, karena hewan tersebut sama hukumnya dengan yang disembelih. Hal yang sama diriwayatkan dari Sa’id ibnu Jubair, Al-Hasan Al-Basri, dan As-Saddi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, telah menceritakan kepada kami Ja’far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali sehubungan dengan ayat ini, bahwa jika hewan yang dimaksud masih menggerak-gerakkan telinganya, atau menendang-nendang dengan kakinya atau matanya masih melirik-lirik (saat kalian menyembelihnya), maka makanlah hewan itu.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Hasyim dan Abbad; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Husain, dari Asy-Sya’bi, dari Al-Haris, dari Ali Radhiyallahu Anhu yang mengatakan, “Jika hewan yang dipukul, yang jatuh, dan yang ditanduk masih sempat disembelih dalam keadaan masih sempat menggerak-gerakkan kaki depan atau kaki belakangnya, maka makanlah hewan tersebut.”
Hal yang sama diriwayatkan dari Tawus, Al-Hasan, Qatadah, Ubaid ibnu Umair, dan Ad-Dahhak serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa hewan yang disembelih itu manakala masih dapat melakukan gerakan yang menunjukkan ia masih hidup sesudah disembelih, maka hewan itu halal hukumnya. Demikianlah menurut mazhab jumhur ulama fiqih; dan hal yang sama dikatakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal.
Ibnu Wahb mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya tentang kambing yang dirobek tubuhnya oleh binatang pemangsa hingga ususnya keluar. Imam Malik menjawab, “Menurut pendapatku, kambing tersebut tidak boleh disembelih, apakah manfaat penyembelihan dari kambing yang keadaannya sudah demikian?”
Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya mengenai masalah dubuk yang menerkam domba dan mematahkan punggungnya, “Apakah domba itu boleh disembelih sebelum ia mati, lalu dimakan?” Imam Malik menjawab, “Jika yang digigitnya sampai ke tengkuknya. tidak boleh dimakan. Tetapi jika yang digigitnya itu adalah bagian lain dari anggota tubuhnya, tidak mengapa (disembelih,lalu dimakan).” Ketika ditanyakan lagi kepadanya, “Dubuk itu menerkamnya dan mematahkan punggungnya?” Imam Malik menjawab, “Tidak aneh bagiku, kambing itu pasti tidak dapat hidup lagi karenanya.” Ketika ditanyakan lagi mengenai masalah serigala yang menerkam kambing dan merobek perut tanpa mengeluarkan isinya, maka Imam Malik menjawab, “Bila serigala telah merobek perutnya, maka menurut pendapatku kambing itu tidak boleh dimakan lagi.”
Demikianlah menurut mazhab Imam Malik, tetapi makna lahiriah ayat bersifat umum, tidak seperti apa yang dikecualikan oleh Imam Malik dalam gambaran-gambaran yang dialami oleh hewan-hewan tersebut sampai pada tahapan tidak dapat hidup lagi sesudahnya. Maka untuk menetapkannya diperlukan adanya dalil yang mentakhsis ayat.
Di dalam kitab Sahihain dari Rafi’ ibnu Khadij disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, “Wahai Rasulullah, besok kami akan berhadapan dengan musuh, sedangkan kami tidak mempunyai pisau penyembelih, bolehkah kami menyembelih memakai welat?” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab melalui sabdanya:
“مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ، لَيْسَ السنُّ والظَّفُر، وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ ذَلِكَ، أما السن فعظم، وأما الظفر فمدى الحبشة”
Alat apa saja yang dapai mengalirkan darah dan disebutkan asma Allah padanya, maka makanlah sembelihannya, selagi bukan berupa gigi dan kuku. Aku akan menceritakan kepada kalian tentang hal tersebut. Adapun gigi berasal dari tulang, dan kuku adalah pisau orang-orang Habsyah.
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni secara marfu’ ada hal yang perlu dipertimbangkan di dalamnya. Telah diriwayatkan dari Umar secara mauquf, hal ini lebih sahih. Disebutkan,
“أَلَا إِنَّ الذَّكَاةَ فِي الْحَلْقِ وَاللَّبَّةِ، وَلَا تُعَجِّلُوا الْأَنْفُسَ أَنْ تَزْهَقَ”.
“Ingatlah, menyembelih itu pada tenggorokan dan lubbah (urat leher), dan janganlah kalian tergesa-gesa agar rohnya cepat dicabut.”
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ahlus sunan melalui riwayat Hammad ibnu Salamah, dari Abul Asyra Ad-Darimi, dari ayahnya, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,”Wahai Rasulullah, bukankah menyembelih itu lubbah dan tenggorokan?” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab:
“لَوْ طُعِنَتْ فِي فَخْذِهَا لَأَجْزَأَ عَنْكَ.
Seandainya kamu tusuk pada pahanya, niscaya sudah cukup bagimu.
Hadis ini sahih, tetapi pengertiannya ditujukan terhadap hewan yang tidak dapat disembelih pada tenggorokan dan lubbah (urat lehernya).
****
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ}
Dan yang disembelih untuk berhala. (Al-Maidah: 3)
Mujahid dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa berhala terbuat dari batu di zaman dahulu banyak didapat di sekitar Ka’bah.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa jumlah berhala yang ada di sekeliling Ka’bah kurang lebih tiga ratus enam puluh buah. Dahulu di masa Jahiliah orang-orang Arab menyembelih hewan kurbannya di dekat berhala-berhala itu, lalu mereka melumuri bagian depan berhala-berhala itu —yang menghadap ke arah Ka’bah— dengan darah sembelihan mereka; dan mereka mengiris tipis dagingnya, lalu mereka letakkan pada berhala-berhala itu. Demikian pula hal yang diriwayatkan oleh lainnya yang bukan hanya seorang. Kemudian Allah melarang orang-orang mukmin melakukan perbuatan itu; juga mengharamkan bagi mereka memakan sembelihan yang dilakukan di dekat berhala-berhala itu, sekalipun ketika menyembelihnya dibacakan asma Allah. Mengingat adanya bekas kemusyrikan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, sudah selayaknya masalah ini disamakan dengan masalah di atas, karena sebelumnya telah dikatakan haram memakan sembelihan yang disembelih untuk selain Allah.
*****
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ}
Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah. (Al-Maidah: 3)
Diharamkan bagi kalian, hai orang-orang mukmin, mengundi nasib dengan anak panah. Bentuk tunggal dari azlam ialah zulam, tetapi adakalanya dibaca zalam. Dahulu di masa Jahiliah orang-orang Arab sering melakukannya. Azlam merupakan tiga buah anak panah, pada salah satunya bertuliskan kata ‘lakukanlah’, pada yang kedua bertuliskan ‘jangan kamu lakukan’, sedangkan pada yang ketiganya tidak terdapat tulisan apa pun. Menurut sebagian orang, pada yang pertama bertuliskan ‘Tuhanku memerintahkan kepadaku’, pada yang kedua bertuliskan ‘Tuhanku melarangku’, dan pada yang ketiganya kosong, tidak ada tulisan.
Jika telah dikocok, lalu keluarlah panah yang bertuliskan kata perintah, maka orang yang bersangkutan mengerjakannya; atau jika yang keluar kata larangan, maka ia meninggalkannya. Jika yang keluar adalah anak panah yang kosong, maka ia mengulanginya lagi.
Istilah istiqsam diambil dari makna meminta bagian dari anak-anak panah tersebut yang dipakai untuk mengundi. Demikianlah menurut keterangan yang dikemukakan oleh Abu Ja’far ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad As-Sabbah, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya: Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah. (Al-Maidah: 3); Azlam adalah anak panah (yang belum diberi bulu kestabilan dan besi runcing pada ujungnya). Dahulu mereka menggunakan alat ini untuk mengundi nasib dalam semua perkara. Hal yang sama diriwayatkan dari Mujahid, Ibrahim An-Nakha’i, Al-Hasan Al-Basri, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Ibnu Abbas mengatakan, azlam adalah anak panah yang dahulu mereka gunakan untuk mengundi nasib dalam semua urusan.
Muhammad ibnu Ishaq dan lain-lainnya menyebutkan bahwa berhala orang Quraisy yang paling besar diberi nama Hubal. Berhala ini dipancangkan di atas sebuah sumur yang terdapat di dalam Ka’bah, di dalamnya diletakkan semua hadiah dan harta Ka’bah. Di dekat berhala tersebut terdapat tujuh buah anak panah yang pada masing-masingnya tertera apa yang biasa mereka gunakan untuk memutuskan perkara-perkara yang sulit bagi mereka. Maka anak panah mana saja yang keluar, hal itu dijadikan pegangan oleh mereka dan tidak dapat diganggu gugat lagi.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memasuki Ka’bah, beliau menemukan gambar Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail di dalamnya, pada tangan kedua nabi itu terdapat azlam. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“قَاتَلَهُمُ اللَّهُ، لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّهُمَا لَمْ يَسْتَقْسِمَا بِهَا أَبَدًا.”
Semoga Allah melaknat mereka (ahli Jahiliah), sesungguhnya mereka mengetahui bahwa keduanya sama sekali tidak pernah menggunakannya.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Suraqah ibnu Malik ibnu Ju’syum ketika berangkat mengejar Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan Abu Bakar yang sedang menuju Madinah melakukan hijrahnya, terlebih dahulu mengundi nasib dengan azlam, apakah dia dapat menimpakan mudarat kepada mereka atau tidak. Ternyata yang keluar adalah yang tidak disukainya, yaitu yang mengatakan, “Kamu tidak dapat menimpakan mudarat terhadap mereka.” Suraqah mengatakan, “Lalu aku tidak menghiraukan apa yang dihasilkan oleh azlam itu, dan langsung aku mengejar mereka.” Kemudian ia melakukannya lagi untuk yang kedua dan yang ketiga kalinya. Tetapi setiap ia melakukan undian, ternyata yang keluar adalah yang tidak disukainya, yaitu “kamu tidak dapat membahayakan mereka.” Memang demikianlah kejadiannya. Saat itu Suraqah masih belum masuk Islam, ia baru masuk Islam sesudah peristiwa tersebut.
وَرَوَى ابْنُ مَرْدُويه مِنْ طَرِيقِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ رَقَبةَ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْر، عَنْ رَجاء بْنِ حَيْوَة، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَنْ يَلِج الدَّرَجَاتِ مَنْ تَكَهَّن أَوِ اسْتَقْسَمَ أَوْ رَجَعَ مِنْ سَفَرٍ طَائِرًا”.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Ibrahim ibnu Yazid, dari Ruqabah, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Raja ibnu Haiwah, dari Abu Darda yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah bersabda: Tidak akan masuk surga orang yang melakukan tenung atau mengundi nasib atau kembali dari bepergian karena tatayyur.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan Firman-Nya: Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah. (Al-Maidah: 3); Azlam ialah anak panah orang-orang Arab, dan dadu orang-orang Persia serta orang-orang Romawi yang biasa mereka pakai untuk berjudi.
Pendapat yang disebutkan oleh Mujahid ini sehubungan dengan pengertian azlam —yaitu alat yang dipakai untuk berjudi— masih perlu dipertimbangkan. Kecuali jika ia mengatakan bahwa dahulu orang-orang Arab adakalanya memakai azlam untuk beristikharah dan adakalanya untuk berjudi, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan antara azlam dan qumar (judi), seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian. (Al-Maidah: 90-91)
sampai dengan firman-Nya:
فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
Maka berhentilah kalian (dari mengerjakan perbuatan itu). (Al-Maidah: 91)
Dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya dengan makna yang sama, yaitu:
{وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ}
Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. (Al-Maidah: 3)
Yaitu melakukan perbuatan tersebut akan mengakibatkan kefasikan, kesesatan, kebodohan, dan kemusyrikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, apabila mereka merasa ragu dalam urusan mereka, hendaknya mereka melakukan istikharah kepada-Nya, yaitu dengan menyembah-Nya, kemudian memohon petunjuk dari-Nya tentang perkara yang hendak mereka lakukan.
Imam Ahmad, Imam Bukhari, dan Ahlus Sunan meriwayatkan melalui jalur Abdur Rahman ibnu Abul Mawali, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah mengajarkan kepada kami beristikharah dalam semua urusan, sebagaimana beliau mengajarkan Al-Qur’an kepada kami. Untuk itu beliau Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“إِذَا هَمَّ أحدُكُم بالأمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ، ثُمَّ لِيَقُلِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أسْتَخِيركَ بعلمكَ، وأسْتَقْدِرُك بقدرتكَ، وأسألُكَ مِنْ فَضْلك الْعَظِيمِ؛ فَإِنَّكَ تَقْدِر وَلَا أقْدِر، وتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَم، وَأَنْتَ عَلام الْغُيُوبِ، اللَّهُمَّ إِنَّ كنتَ تَعْلَمُ هَذَا الْأَمْرَ -وَيُسَمِّيهِ بِاسْمِهِ-خَيْرًا لِي فِي دِينِي ومَعاشي وعاقِبة أَمْرِي، فاقدُرْهُ لِي ويَسِّره لِي وَبَارِكْ لِي فِيهِ، اللَّهُمَّ إِنْ كنتَ تَعْلَمْهُ شَرًّا لِي فِي دِينِي ومَعاشي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي، فاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاصْرِفْهُ عنِّي، واقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ رَضِّني بِهِ”.
Apabila seseorang di antara kalian berniat akan melakukan suatu urusan, hendaklah ia salat dua rakaat bukan salat fardu. Kemudian hendaklah ia mengucapkan (dalam doanya), “Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan memohon kemampuan dengan kekuasaan-Mu, memohon karunia-Mu yang besar. Karena sesungguhnya Engkau Kuasa, sedangkan aku tidak kuasa; dan Engkau mengetahui, sedangkan aku tidak mengetahui. Engkau Maha Mengetahui semua yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini (disebutkan nama urusannya) baik bagiku dalam agamaku, duniaku, kehidupanku, dan akibat perkaraku. Atau beliau Shalallahu’alaihi Wasallam mengatakan, ‘Dalam urusan dunia dan akhiratku,’ maka takdirkanlah urusan ini untukku dan mudahkanlah bagiku dalam melakukannya, kemudian berilah berkah bagiku di dalamnya. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku dalam agamaku, duniaku, penghidupanku, dan akibat perkaraku, maka pa-lingkanlah aku darinya dan palingkanlah urusan ini dariku, dan takdirkanlah yang baik bagiku menurut seadanya, kemudian ridailah aku dengannya.”
Demikianlah menurut lafaz Imam Ahmad. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih garib, kami tidak mengetahuinya kecuali melalui hadis Ibnu Abul Mawali.
****
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ}
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agama kalian. (Al-Maidah: 3)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa mereka putus asa dan tidak punya harapan lagi untuk mengembalikan agama mereka. Hal yang sama diriwayatkan dari Ata ibnu Abu Rabah, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan. Berdasarkan makna ini disebutkan sebuah hadis dalam kitab sahih yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah bersabda:
“إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَئِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ المُصَلُّون فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ، وَلَكِنْ بالتَّحْرِيش بَيْنَهُمْ”
Sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah kembali di Jazirah Arabia, tetapi masih bisa mengadu domba di antara mereka.
Makna ayat dapat ditafsirkan dengan makna lain, yaitu bahwa mereka telah putus asa untuk dapat menyerupai kaum muslim, mengingat kaum muslim mempunyai ciri khas yang berbeda dengan mereka, antara lain ialah sifat-sifat yang jauh bertentangan dengan kemusyrikan dan para penganutnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk tetap bersabar dan teguh dalam perbedaan dengan orang-orang kafir, dan janganlah orang-orang mukmin merasa takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala Untuk itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
{فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ}
Sebab itu janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. (Al-Maidah: 3)
Artinya, janganlah kalian takut dalam bersikap berbeda dengan mereka, tetapi takutlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan menolong kalian atas mereka, dan Aku akan mendukung kalian serta memenangkan kalian atas mereka. Aku akan melegakan hati kalian terhadap mereka dan menjadikan kalian berada di atas mereka di dunia dan akhirat.
*****
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا}
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku. dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian. (Al-Maidah; 3)
Ini merupakan nikmat Allah yang paling besar kepada umat ini, karena Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka; mereka tidak memerlukan lagi agama yang lain, tidak pula memerlukan nabi lain selain nabi mereka; semoga salawat dan salam terlimpahkan kepadanya. Karena itulah Allah menjadikan beliau Shalallahu’alaihi Wasallam sebagai nabi terakhir yang diutus-Nya untuk manusia dan jin. Tiada halal selain apa yang dihalalkannya, tiada haram kecuali apa yang diharamkannya dan tiada agama kecuali apa yang disyarjatkannya. Semua yang ia beritakan adalah benar belaka, tiada dusta dan tiada kebohongan padanya. Seperti yang disebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu:
{وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا}
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil. (Al-An’am: 115)
Yakni benar dalam beritanya, serta adil dalam perintah dan larangannya. Setelah Allah menyempurnakan bagi mereka agama mereka, berarti telah cukuplah kenikmatan yang mereka terima dari-Nya. Untuk itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا}
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam jadi agama bagi kalian, (Al-Maidah: 3)
Artinya, terimalah oleh kalian dengan rela Islam sebagai agama kalian, karena sesungguhnya Islam adalah agama yang disukai dan diridai Allah, dan Dia telah mengutus rasul yang paling utama dan terhormat sebagai pembawanya, dan menurunkan Kitab-Nya yang paling mulia dengan melaluinya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3); Yakni agama Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan kepada Nabi-Nya dan orang-orang mukmin bahwa Dia telah menyempurnakan Islam untuk mereka, karena itu Islam tidak memerlukan tambahan lagi selamanya. Allah telah mencukupkannya dan tidak akan menguranginya untuk selamanya. Dia telah rida kepadanya, maka Dia tidak akan membencinya selama-lamanya.
Asbat meriwayatkan dari As-Saddi, bahwa ayat ini diturunkan pada hari Arafah, sesudah itu tidak lagi diturunkan wahyu mengenai halal dan haram, dan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam kembali ke Madinah, lalu beliau wafat.
Asma binti Umais menceritakan, “Aku ikut haji bersama Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam dalam haji tersebut (haji wada’). Ketika kami sedang berjalan, tiba-tiba Malaikat Jibril datang kepadanya membawa wahyu. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membungkuk di atas unta kendaraannya, dan unta kendaraannya hampir tidak kuat menopang diri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam karena beratnya wahyu yang sedang turun. Lalu unta kendaraannya duduk mendekam, dan aku datang mendekati Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, kemudian aku selimuti tubuhnya dengan jubah burdahku.”
Ibnu Jarir dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam wafat sesudah hari Arafah selang delapan puluh satu hari kemudian. Hadis ini dan hadis sebelumnya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan:
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيع، حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْل، عَنْ هَارُونَ بْنِ عَنْتَرَةَ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ} وَذَلِكَ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ، بَكَى عُمَرُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَا يُبْكِيكَ؟ ” قَالَ: أَبْكَانِي أَنَّا كُنَّا فِي زِيَادَةٍ مِنْ دِينِنَا، فَأَمَا إذْ أُكْمِلَ فَإِنَّهُ لَمْ يَكْمُلْ شَيْءٌ إِلَّا نَقُصَ. فَقَالَ: “صَدَقْتَ”.
Telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Waki’, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Harun ibnu Antrah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3) Hal ini terjadi pada hari haji Akbar. Maka Umar menangis, lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya kepadanya: “Mengapa engkau menangis?” Umar menjawab, “Aku menangis karena sejak dahulu kita masih terus ditambahi dalam agama kita, adapun sekarang ia telah sempurna; dan sesungguhnya tidak sekali-kali sesuatu itu sempurna, melainkan kelak akan berkurang.” Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab, “Kamu benar.”
Makna hadis ini diperkuat oleh hadis yang mengatakan:
“إِنَّ الْإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا، وَسَيَعُودُ غَرِيبًا، فَطُوبَى للغُرَبَاء”.
Sesungguhnya Islam bermula dari keterasingan, dan kelak akan kembali menjadi terasing, maka beruntunglah bagi orang-orang yang terasing.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ عَوْن، حَدَّثَنَا أَبُو العُمَيْس، عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ مِنَ الْيَهُودِ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ [رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ] فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ آيَةً فِي كِتَابِكُمْ، لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ نَزَلَتْ لَاتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا. قَالَ: وَأَيُّ آيَةٍ؟ قَالَ قَوْلُهُ: {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي} فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ إني لَأَعْلَمُ الْيَوْمَ الَّذِي نَزَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالسَّاعَةَ الَّتِي نَزَلَتْ فِيهَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، نَزَلَتْ عَشية عَرَفَة فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja’far ibnu Aun, telah menceritakan kepada kami Abul Umais, dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu Syihab yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki Yahudi datang kepada Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu berkata, “Hai Amirul Mu’minin, sesungguhnya kamu biasa membaca suatu ayat dalam Kitab kamu, seandainya hal itu diturunkan kepada kami golongan orang-orang Yahudi, niscaya kami akan menjadikan hari itu sebagai hari raya.” Khalifah Umar bertanya, “Ayat apakah itu?” Orang Yahudi tersebut membacakan firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku. (Al-Maidah: 3) Maka Khalifah Umar berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui hari ayat ini diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan saat penurunannya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yaitu pada sore hari Arafah yang jatuh pada hari Jumat.”
Imam Bukhari meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnus Sabbali, dari Ja’far ibnu Aun dengan lafaz yang sama. Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Qais ibnu Muslim dengan lafaz yang sama.
Menurut lafaz Imam Bukhari dalam tafsir ayat ini melalui jalur Sufyan AS-Sauri, dari Qais, dari Tariq, orang-orang Yahudi berkata kepada Umar, “Sesungguhnya kalian biasa membaca suatu ayat, seandainya ayat itu diturunkan kepada kami, niscaya kami akan menjadikan (hari turunnya) sebagai hari raya.” Maka Umar ibnul Khattab Radhiyallahu Anhu menjawab, “Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui saat ayat itu diturunkan, kapan diturunkannya, dan di mana Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berada saat menerima penurunan ayat itu. Ayat tersebut diturunkan pada hari Arafah, sedangkan aku —demi Allah— berada di Arafah pula.” Sufyan mengatakan bahwa dia merasa ragu apakah hal itu terjadi pada hari Jumat ataukah bukan, yaitu turunnya ayat berikut: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayat.
Sufyan merasa ragu jika disebutkan di dalam riwayat, maka hal itu merupakan sikap hati-hatinya bila ditinjau dari segi keraguan, apakah gurunya telah mengabarkan hal itu atau tidak. Jika ia merasa ragu perihal kejadian wuquf pada haji wada’ adalah hari Jumat, hal ini menurut kami bukan keluar dari Sufyan, mengingat hal ini merupakan suatu perkara yang telah dimaklumi dan telah dipastikan, tiada seorang pun dari kalangan Ahli Magazi dan sejarah —tidak pula Ahli Fiqih— yang memperselisihkannya. Karena banyak hadis mutawatir yang menerangkan bahwa kejadian itu hari Jumat, tiada yang meragukan kesahihannya. Hal tersebut diriwayatkan dari Umar melalui berbagai jalur.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Raja ibnu Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Ubadah ibnu Nissi, telah menceritakan kepada kami Amir kami (yaitu Ishaq) yang menurut Abu Ja’far ibnu Jarir dia adalah Ishaq ibnu Harsyah, dari Qubaisah (yakni Ibnu Abu Zi-b) yang mengatakan bahwa Ka’b pernah mengatakan, “Seandainya selain umat ini yang diturunkan kepada mereka ayat tersebut, niscaya mereka akan mempertimbangkan hari ayat tersebut diturunkan kepada mereka, lalu mereka menjadikannya sebagai hari raya, hari mereka berkumpul padanya.” Lalu Umar bertanya, “Ayat apakah yang kamu maksudkan, hai Ka’b?'” Maka Ka’b menjawab, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3) Maka Umar r.a menjawab, “Sesungguhnya aku mengetahui hari ayat ini diturunkan dan tempat penurunannya. Ayat ini diturunkan pada hari Jumat di hari Arafah. Kedua-duanya Alhamdulillah merupakan hari raya bagi kami (umat Islam).”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Qubaisah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ammar (yaitu maula Bani Hasyim), bahwa Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian. (Al-Maidah: 3); Lalu ada seorang Yahudi berkata, “Seandainya ayat ini diturunkan kepada kami, niscaya kami akan menjadikan hari penurunannya sebagai hari raya.” Maka Ibnu Abbas menjawab, “Sesungguhnya ayat ini diturunkan pada dua hari raya sekaligus, yaitu hari raya dan hari Jumat.”
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Kamil, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Hamani, telah menceritakan kepada kami Qais ibnur Rabi’, dari Ismail ibnu Sulaiman, dari Abu Umar Al-Bazzar, dari Ibnul Hanafiyah, dari Ali yang mengatakan bahwa ayat berikut diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika beliau sedang wuquf di Arafah pada sore harinya, yaitu firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Ismail ibnu Amr As-Sukuni, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ayyasy, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Qais As-Sukuni, bahwa ia pernah mendengar Mu’awiyah ibnu Abu Sufyan membaca ayat berikut di atas mimbarnya, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayat.
Lalu Mu’awiyah berkata bahwa ayat ini diturunkan pada hari Arafah yang jatuh pada hari Jumat.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Muhammad Bani Ishaq. dari Amr ibnu Musa ibnu Dahiyyah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah yang mengatakan bahwa firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian. (Al-Maidah: 3) diturunkan di Arafah ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang melakukan wuquf di mauqif.
Mengenai apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Murdawaih, dan Imam Tabrani melalui jalur Ibnu Luhai’ah, dari Khalid ibnu Abu Imran, dari Hanasy ibnu Abdullah As-San’ani, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Nabi kalian dilahirkan pada hari Senin, dan beliau Shalallahu’alaihi Wasallam keluar meninggalkan Mekah (menuju Madinah) pada hari Senin, dan beliau Shalallahu’alaihi Wasallam memasuki kota Madinah pada hari Senin, dan Perang Badar dimulai pada hari Senin, serta surat Al-Maidah diturunkan pada hari Senin, yakni firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3) Zikir (Al-Qur’an) diangkat pada hari Senin (yakni nanti di hari kiamat).
Maka asar ini berpredikat garib dan sanadnya daif. Tetapi hal ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai’ah. dari Khalid ibnu Abu Imran, dari Hanasy As-San’ani, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dilahirkan pada hari Senin, diangkat menjadi Nabi pada hari Senin, keluar meninggalkan Mekah berhijrah ke Madinah pada hari Senin, dan tiba di Madinah pada hari Senin, wafat pada hari Senin, dan Hajar Aswad diletakkan pada hari Senin.
Demikianlah lafaz riwayat Imam Ahmad, tetapi tidak disebutkan padanya penurunan surat Al-Maidah pada hari Senin. Barangkali Ibnu Abbas bermaksud bahwa ayat ini diturunkan pada dua hari raya sekaligus, seperti pada asar di atas, tetapi perawi keliru dalam mengemukakannya.
Ibnu Jarir mengatakan, suatu pendapat mengatakan bahwa mengenai harinya tidak diketahui oleh orang-orang.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3); Ibnu Abbas mengatakan bahwa hari itu hari yang tidak diketahui oleh orang-orang. Ibnu Jarir mengatakan pula, adakalanya dikatakan bahwa surat ini diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sewaktu beliau dalam perjalanannya ke haji wada’. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Abu Ja’far Ar-Razi, dari Ar-Rabi’ ibnu Anas.
Menurut kami, Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Abu Harun Al-Abdi, dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa surat ini diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Gadir Kham, yaitu ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepada Ali Radhiyallahu Anhu:
“مَنْ كنتُ مَوْلَاهُ فَعَليٌّ مَوْلَاهُ”
Barang siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya pula.
Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui Abu Hurairah, antara lain disebutkan bahwa hari itu adalah hari kedelapan belas dari bulan Zul Hijjah. Dengan kata lain, di saat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kembali dari haji wada’nya. Tetapi baik riwayat ini ataupun riwayat di atas tiada yang sahih. Bahkan yang benar dan tidak diragukan lagi ialah riwayat yang mengatakan bahwa surat Al-Maidah diturunkan pada hari Arafah yang saat itu jatuhnya bertepatan dengan hari Jumat Yaitu seperti yang tertera pada riwayat Amirul Mu’minin Umar ibnul Khattab, Ali ibnu Abu Talib, raja Islam pertama (yaitu Mu’awiyah ibnu Abu Sufyan), juru tafsir Al-Qur’an (yaitu Abdullah ibnu Abbas), dan Samurah ibnu Jundub, radiyallahu anhum.
Asar ini di-mursal-kan oleh Asy-Sya’bi, Qatadah ibnu Di’amah, dan Syahr ibnu Hausyab serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan para imam dan para ulama. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari.
*****
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Maidah: 3)
Artinya, barang siapa yang terpaksa memakan sebagian dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah —seperti yang telah disebutkan di atas— karena keadaan darurat yang memaksanya melakukan hal itu, maka dia boleh memakannya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepadanya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui kebutuhan hambaNya yang terpaksa dan keperluannya akan hal tersebut. Maka dari itu Allah memaafkan dan mengampuninya.
Di dalam kitab musnad dan kitab sahih Ibnu Hibban disebutkan sebuah hadis dari Ibnu Umar secara marfu’, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:
“إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخْصته كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيته”
Sesungguhnya Allah suka bila rukhsah-rukhsah (kemurahan-kemurahan-Nya) dikerjakan, sebagaimana Dia benci bila perbuatan durhaka kepada-Nya dikerjakan.
Demikianlah menurut lafaz Imam Ibnu Hibban. Sedangkan menurut lafaz Imam Ahmad disebutkan seperti berikut:
مَنْ لَمْ يَقْبَلْ رُخْصَة اللَّهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلَ جِبَالِ عَرَفَةَ”
Barang siapa yang tidak mau menerima rukhsah (kemurahan) Allah, maka atas dirinya dosa yang besarnya semisal dengan Bukit Arafah.
Karena itu, maka ulama fiqih mengatakan bahwa adakalanya memakan bangkai itu hukumnya wajib, yaitu bila orang yang bersangkutan merasa khawatir terhadap keselamatan jiwanya, sedangkan di tempat ia berada tidak ditemukan selainnya (yakni selain bangkai itu). Adakalanya memakan bangkai itu hukumnya sunat, adakalanya hukumnya mubah (boleh), semua ditentukan oleh keadaan.
Tetapi ulama fiqih berselisih pendapat mengenai masalah kadar yang dimakannya, apakah hanya sekadar untuk menutupi kebutuhan saja, atau sampai sekenyangnya, atau sampai kenyang, dan boleh membekali diri dengannya? Banyak pendapat di kalangan mereka mengenai masalah ini, semuanya disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih.
Mereka berselisih pendapat pula dalam masalah bilamana orang yang bersangkutan menjumpai bangkai hewan dan makanan milik orang lain atau hewan buruan, sedangkan dia dalam keadaan ihram. Masalahnya ialah apakah dia boleh memakan bangkai itu atau hewan buruan yang mengharuskan dia bayar denda, atau makanan milik orang lain yang konsekuensinya dia harus menggantinya. Ada dua pendapat mengenai masalah ini, kedua-duanya dikatakan oleh Imam Syafii rahimahullah.
Bukan termasuk syarat, boleh memakan bangkai bila orang yang bersangkutan telah menjalani masa tiga hari tanpa menjumpai suatu makanan pun, seperti yang diduga oleh kebanyakan kalangan awam dan lain-lainnya. Bahkan manakala orang yang bersangkutan dalam keadaan terpaksa harus memakannya, maka diperbolehkan baginya melakukannya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ أَنَّهُمْ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا بِأَرْضٍ تُصِيبُنَا بِهَا الْمَخْمَصَةُ، فَمَتَى تَحِلُّ لَنَا بِهَا الْمَيْتَةُ؟ فَقَالَ: “إِذَا لَمْ تَصْطَبِحوا، وَلَمْ تَغْتَبِقُوا، وَلَمْ تَجتفئوا بقْلا فَشَأْنُكُمْ بِهَا “.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Auza’i, telah menceritakan kepada kami Hassan ibnu Atiyyah, dari Abu Waqid Al-Laisi, bahwa mereka pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami berada di suatu tempat dan kami mengalami kelaparan di tempat itu. Bilakah diperbolehkan bagi kami memakan bangkai di tempat itu?” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: Bilamana kalian tidak mendapatkan untuk makan pagi dan tidak pula untuk makan sore hari serta tidak dapat memperoleh sayur-sayuran padanya, maka bangkai itu terserah kamu.
Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Ahmad bila ditinjau dari segi ini, tetapi sanadnya sahih dengan syarat Syaikhain.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Abdul A’la ibnu Wasil, dari Muhammad ibnul Qasim Al-Asadi, dari Al-Auza’i dengan lafaz yang sama. Tetapi sebagian mereka meriwayatkannya dari Al-Auza’i, dari Hassan ibnu Atiyyah, dari Muslim ibnu Yazid, dari Abu Waqid dengan lafaz yang sama. Di antara mereka ada yang meriwayatkannya dari Al-Auza’i, dari Hassan, dari Marsad atau Abu Marsad, dari Abu Waqid dengan lafaz yang sama.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Hannad ibnus Sirri, dari Isa ibnu Yunus, dari Hassan, dari seorang lelaki yang telah disebutkan namanya oleh dia, lalu ia menuturkan hadis ini. Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Hannad, dari Ibnul Mubarak, dari Al-Auza’i, dari Hassan secara mursal.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّة، عَنْ عَوْن قَالَ: وَجَدْتُ عِنْدَ الْحَسَنِ كِتَابَ سَمُرة، فَقَرَأْتُهُ عَلَيْهِ، فَكَانَ فِيهِ: “ويُجزى من الأضرار غَبُوق أَوْ صُبُوحٌ “
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ibnu Aun yang menceritakan bahwa ia pernah menemukan catatan Samurah pada Al-Hasan, lalu ia membacanya, dan yang terdapat padanya antara lain ialah, “Cukup bagi yang terpaksa memakan sekadar makan malam atau makan paginya.”
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا هُشَيْم، عَنِ الخَصيب بْنِ زَيْدٍ التَّمِيمِيِّ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ، أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: [إِلَى] مَتَى يَحِلُّ [لِي] الْحَرَامُ؟ قَالَ: فَقَالَ: “إِلَى مَتَى يَرْوى أَهْلُكَ مِنَ اللَّبَنِ، أَوْ تَجِيءُ مِيرَتُهم “.
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Al-Khasib ibnu Zaid At-Tamimi, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam Untuk itu ia mengatakan, “Sampai kapan yang haram dihalalkan?” Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab melalui sabdanya: Sampai dengan keluargamu merasa kenyang karena minum air susu atau sampai datang makanan mereka.
حَدَّثَنَا ابْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا سَلَمَةُ، عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ جَدِّهِ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ جَدَّتِهِ ؛ أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَعْرَابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفْتِيهِ فِي الَّذِي حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَالَّذِي أَحَلَّ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “تَحِلُّ لَكَ الطَّيِّبَاتُ، وتَحْرُم عَلَيْكَ الْخَبَائِثُ إِلَّا أَنْ تَفْتَقِر إِلَى طَعَامٍ لَا يَحِلُّ لَكَ، فَتَأْكُلَ مِنْهُ حَتَّى تَسْتَغْنِيَ عَنْهُ”. فَقَالَ الرَّجُلُ: وَمَا فَقْرِي الَّذِي يُحِلُّ لِي؟ وَمَا غِنَايَ الَّذِي يُغْنِينِي عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِذَا كُنْتَ تَرْجُو نِتَاجًا، فَتَبْلُغُ بلُحُوم مَاشِيَتِكَ إِلَى نِتَاجِكَ، أَوْ كُنْتَ تَرْجُو غِنًى، تَطْلُبُهُ، فَتَبْلُغُ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا، فَأَطْعِمْ أَهْلَكَ مَا بَدَا لَكَ حَتَّى تَسْتَغْنِيَ عَنْهُ”. فَقَالَ الْأَعْرَابِيُّ: مَا غِنَايَ الَّذِي أَدَعُهُ إِذَا وَجَدَتُهُ؟ فَقَالَ [النَّبِيُّ] صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِذَا أَرُوِيَتْ أَهْلُكَ غَبُوقا مِنَ اللَّيْلِ، فَاجْتَنِبْ مَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْكَ مِنْ طَعَامٍ، وَأَمَّا مَالُكَ فَإِنَّهُ مَيْسُورٌ كُلُّهُ، لَيْسَ فِيهِ حَرَامٌ”.
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Ishaq, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Abdullah ibnu Urwah, dari kakeknya (yaitu Urwah ibnuz Zubair), dari neneknya, bahwa seorang lelaki Badui pernah datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk meminta fatwa kepadanya mengenai barang-barang yang diharamkan oleh Allah dan barang-barang yang dihalalkan Allah untuknya. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab melalui sabdanya: Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan diharamkan bagimu yang buruk-buruk, kecuali jika kamu terpaksa memerlukan makanan untuk dirimu; maka kamu boleh memakan sebagian darinya hingga kamu merasa berkecukupan. Maka lelaki Badui itu bertanya, “Sampai batas manakah keperluanku yang menghalalkan aku memakannya, dan sampai batas manakah kecukupanku yang membuat aku tidak memerlukannya lagi?” Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Apabila kamu mencari makanan untuk mencukupimu, lalu kamu menemukan sesuatu dari (bangkai) itu, maka berilah makan keluargamu menurut apa yang kamu kehendaki hingga kamu merasa cukup darinya. Lalu lelaki Arab Badui itu bertanya lagi, “Sampai batas manakah kecukupan yang mengharuskan aku meninggalkannya jika aku menjumpainya (lagi)?” Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Jika kamu telah dapat mengenyangkan keluargamu dengan minuman susu di malam hari, maka jauhilah dari makananmu, makanan yung diharamkan oleh Allah bagimu. Karena sesungguhnya makananmu yang halal itu semuanya mudah didapat dan tidak ada yang haram padanya.
Makna sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mengatakan, “Ma lam tastabihu” ialah selagi kamu tidak menjumpai untuk makan pagi. Makna ma lam tag-tabiqu ialah selagi kamu tidak menjumpai untuk makan malam. Yang dimaksud dengan au tahtaji-u baqalah fasya-nukum biha ialah atau kamu tidak menemukan sayur-sayuran untuk mengganti makananmu, maka makanlah bangkai itu.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa lafaz lahtafi-u diriwayatkan mempunyai empat bacaan, yaitu lahfau. tahiafiyu, tahtaffii, dan tahlaju. Tetapi dapat pula memakai hamzah hingga menjadi tahlafiu. Demikianlah menurutnya dalam kitab tafsirnya.
حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْن، حَدَّثَنَا عُقْبَة بْنُ وَهْب بْنِ عُقْبَةَ الْعَامِرِيُّ سَمِعْتُ أَبِي يُحَدِّثُ عَنِ الْفَجِيعِ الْعَامِرِيِّ؛ أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم فقال: مَا يَحِلُّ لَنَا مِنَ الْمِيتَةِ؟ قَالَ: “مَا طَعَامُكُمْ؟ ” قُلْنَا: نَغْتَبِقُ وَنَصْطَبِحُ. قَالَ أَبُو نُعَيْمٍ: فَسَّرَه لِي عُقْبَةُ: قَدَحُ غُدوة، وَقَدَحُ عَشيَّة قَالَ: “ذَاكَ وَأَبِي الجُوعُ”. وَأُحِلَّ لَهُمُ الْمَيْتَةُ عَلَى هَذِهِ الْحَالِ.
Hadis lain. Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Dakin, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Uqbah Al-Amiri, bahwa ia pernah mendengar ayahnya menceritakan hadis dari An-Naji’ Al-Amiri bahwa An-Naji’ Al-Amiri pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu bertanya, “Bilakah bangkai dihalalkan bagi kami?” Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam balik bertanya, “Apa sajakah makanan kalian?” Kami menjawab, “Segelas susu di pagi hari dan segelas susu di malam hari.” Abu Na’im mengatakan bahwa Uqbah mengartikan kepadaku makna nastabih dan nagtabiq yaitu segelas susu di pagi hari dan segelas susu di petang hari. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Yang demikian itu, demi ayahku, dinamakan kelaparan.” Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menghalalkan bangkai untuk mereka dalam keadaan demikian.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid. Seakan-akan mereka di pagi hari dan petang harinya memakan sesuatu yang tidak mencukupi mereka, lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menghalalkan bangkai untuk mereka untuk memenuhi kecukupan mereka.
Hadis ini dijadikan sebagai dalil oleh orang yang berpendapat boleh memakan sebagian dari bangkai sampai kenyang, dan tidak terikat dengan batasan hanya untuk menyelamatkan nyawa saja.
حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، حَدَّثَنَا سِمَاكٌ، عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَة، أَنْ رَجُلًا نَزَلَ الحَرَّةَ، وَمَعَهُ أَهْلُهُ وَوَلَدُهُ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: إِنَّ نَاقَةً لِي ضَلَّت، فَإِنْ وَجَدْتَهَا فَأَمْسِكْهَا، فَوَجَدَهَا وَلَمْ يَجِدْ صَاحِبَهَا، فَمَرِضَتْ فَقَالَتِ امْرَأَتُهُ: انْحَرْهَا، فَأَبَى، فَنَفَقَتْ، فَقَالَتْ لَهُ امْرَأَتُهُ: اسْلُخْهَا حَتَّى نُقدد شَحْمَها وَلَحْمَهَا فَنَأْكُلَهُ. فَقَالَ: حَتَّى أَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَتَاهُ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ: “هَلْ عِنْدَكَ غِنًى يُغْنِيك؟ ” قَالَ: لَا. قَالَ: ” فَكُلُوهَا”. قَالَ: فَجَاءَ صَاحِبُهَا فَأَخْبَرَهُ الْخَبَرَ، فَقَالَ: هَلَّا كُنْتَ نَحَرْتَهَا؟ قَالَ: اسْتَحْيَيْتُ مِنْكَ.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Abu Daud. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Sammak, dari Jabir, dari Samurah. bahwa seorang lelaki turun istirahat di Harrah (pinggir Madinah) disertai istri dan anak laki-lakinya. Ada lelaki lain yang berkata kepadanya, “Sesungguhnya untaku hilang (lepas). Jika kamu menemukannya, tolonglah tangkap ia.” Lalu ia menemukannya, tetapi tidak menjumpai pemiliknya (karena telah pergi). Kemudian lelaki itu sakit, maka istrinya berkata kepadanya, “Sembelihlah unta temuan ini.” Ia menolak dan sakitnya bertambah parah. Lalu istrinya berkata lagi kepadanya.”Sayatlah salah satu bagiannya, lalu kamu dendeng lemak dan dagingnya, kemudian kita makan bersama.” Ia menjawab, “Tidak, sebelum aku tanyakan lebih dahulu kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” Lelaki ku datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan menanyakan hal itu kepadanya. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya, “Apakah kamu memiliki makanan yang mencukupimu?” Ia menjawab, ‘Tidak.” Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Maka makanlah daging sayatan itu.” Tidak lama kemudian datanglah pemilik unta itu, dan ia mengabarinya. Ternyata pemilik unta itu berkata, “Mengapa tidak kamu sembelih saja untaku itu?” Ia menjawab, “Aku malu kepadamu.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid. Hadis ini dijadikan dalil oleh orang yang membolehkan memakan (bangkai) sampai kenyang serta mengambil bekal darinya selama masa yang diperlukan, menurut dugaannya yang kuat.
*****
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ}
Tanpa sengaja berbuat dosa. (Al-Maidah: 3)
Yakni tidak sengaja berbuat maksiat kepada Allah, maka sesungguhnya Allah telah membolehkan hal tersebut. Dalam ayat ini tidak disebutkan hal lainnya yang disebutkan di dalam surat Al-Baqarah melalui firman-Nya:
{فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan ia tidak durhaka dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 173)
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa orang yang bepergian untuk maksiat tidak diperbolehkan melakukan sesuatu pun dari rukhsah-rukhsah yang diberikan kepada seorang musafir, karena rukhsah tidak dapat dilakukan dengan adanya maksiat.
******************
Demikian pembahasan kita kali ini mengenai Tafsir Surat Al-Maidah ayat 3 Imam Ibnu Katsir. Semoga dengan penjelasan ini kita dapat memahami isi atau kandungan ayat surat Al Maidah ayat 3. Jangan lupa bagikan artikel ini ke sosial media agar manfaat tulisan ini semakin tersebar luas.
Lainnya: Tafsir Surat Al Maidah ayat 1-2