Tafsir Surat At-Taubah ayat 36 |
Tafsir Surat At-Taubah ayat 36 Imam Ibnu Katsir
{إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (36) }
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu dan perangilah kaum musyrik itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya; dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي بَكْرَة، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ فِي حَجَّتِهِ، فَقَالَ: “أَلَا إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ [حُرُمٌ، ثَلَاثَةٌ] مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو الْقَعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ”. ثُمَّ قَالَ: “أَيُّ يَوْمٍ هَذَا؟ ” قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ، قَالَ: “أَلَيْسَ يَوْمَ النَّحْرِ؟ ” قُلْنَا؛ بَلَى. ثُمَّ قَالَ: “أَيُّ شَهْرٍ هَذَا؟ ” قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ، قَالَ: “أَلَيْسَ ذَا الْحِجَّةِ؟ ” قُلْنَا: بَلَى. ثُمَّ قَالَ: “أَيُّ بَلَدٍ هَذَا؟ “. قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ، قَالَ: “أَلَيْسَتِ الْبَلْدَةُ؟ ” قُلْنَا: بَلَى. قَالَ: “فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ -قَالَ: وَأَحْسَبُهُ قَالَ: وَأَعْرَاضَكُمْ -عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، وَسَتَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ فَيَسْأَلُكُمْ عَنْ أَعْمَالِكُمْ، أَلَا لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي ضُلالا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ، أَلَا هَلْ بَلَغْتُ؟ أَلَا لِيُبَلِّغَ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ مِنْكُمْ، فَلَعَلَّ مَنْ يُبَلَّغُهُ يَكُونُ أَوْعَى لَهُ مِنْ بَعْضِ مَنْ يَسْمَعُهُ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Ayyub, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sirin. dari Abu Bakrah, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berkhotbah dalam haji wada’nya. Antara lain beliau Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda: Ingatlah, sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya sejak hari Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun terdiri atas dua belas bulan, empat bulan di antaranya adalah bulan-bulan haram (suci); tiga di antaranya berturut-turut, yaitu Zul Q ‘dah, Zul Hijjah, dan Muharram; yang lainnya ialah Rajab Mudar, yang terletak di antara bulan Jumada (Jumadil Akhir) dan Sya’ban. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya, “Ingatlah, hari apakah sekarang?” Kami (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diam sehingga kami menduga bahwa beliau akan memberinya nama bukan dengan nama biasanya. Lalu beliau bersabda.”Bukankah hari ini adalah Hari Raya Kurban?” Kami menjawab, “Memang benar.” Kemudian beliau Shalallahu’alaihi Wasallam bertanya, “Bulan apakah sekarang?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau Shalallahu’alaihi Wasallam diam sehingga kami menduga bahwa beliau akan memberinya nama bukan dengan nama biasanya. Lalu beliau Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Bukankah sekarang ini bulan Zul Hijjah?” Kami menjawab, “Memang benar.” Kemudian beliau Shalallahu’alaihi Wasallam bertanya, “Negeri apakah ini?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau Shalallahu’alaihi Wasallam diam sehingga kami menduga bahwa beliau akan memberinya nama bukan dengan nama biasanya. Lalu beliau Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Bukankah negeri ini?” Kami menjawab, “Memang benar.” Setelah itu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Maka sesungguhnya darah dan harta benda kalian —menurut seingat (perawi) beliau mengatakan pula ‘dan kehormatan kalian’— diharamkan atas kalian seperti keharaman (kesucian) hari kalian sekarang, dalam bulan kalian, dan di negeri kalian ini. Dan kelak kalian akan menghadap kepada Tuhan kalian, maka Dia akan menanyai kalian tentang amal perbuatan kalian. Ingatlah, janganlah kalian berbalik menjadi sesat sesudah (sepeninggal)ku, sebagian dari kalian memukul (memancung) leher sebagian yang lain. Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikan? Ingatlah, hendaklah orang yang hadir (sekarang) di antara kalian menyampaikan kepada orang yang tidak hadir, karena barangkali orang yang menerimanya dari si penyampai lebih memahaminya daripada sebagian orang yang mendengarnya secara langsung.
Imam Bukhari meriwayatkannya di dalam kitab Tafsir dan lain-lainnya. Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abdur Rahman ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya dengan sanad yang sama.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَر، حَدَّثَنَا رَوْحٌ، حَدَّثَنَا أَشْعَثُ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، وَإِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شهرا في كتاب الله يوم خلق السموات وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ، وَرَجَبُ مُضَرَ بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ”
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ma’mar, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Asy’as, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah bersabda: Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya semula sejak hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dan sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan Langit dan bumi diantaranya empat bulan haram (suci); tiga di antaranya berturut-turut, yaitu Zul Qa’dah, Zul Hijjah, dan Muharram, sedangkan lainnya ialah Rajab Mudar yang terletak di antara bulan Jumada dan bulan Sya’ban.
Al-Bazzar meriwayatkannya melalui Muhammad ibnu Ma’mar dengan sanad yang sama, kemudian ia mengatakan bahwa tidak diriwayatkan melalui Abu Hurairah kecuali melalui jalur ini. Ibnu Aun dan Qurrah telah meriwayatkannya dari Ibnu Sirin, dari Abdur Rahman ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya dengan sanad yang sama.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ أَيْضًا: حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمَسْرُوقِيُّ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ حُبَاب، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُبَيْدَةَ الربَذي، حَدَّثَنِي صَدَقَةُ بْنُ يَسَارٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ بِمِنًى فِي أَوْسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ فَقَالَ: “أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ، فَهُوَ الْيَوْمَ كَهَيْئَتِهِ يوم خلق الله السموات وَالْأَرْضَ، وَإِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، أَوَّلُهُنَّ رَجَب مُضَرَ بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ، وَذُو الْقَعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ”
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Abdur Rahman Al-Masruqi, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnu Hubab, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ubaidah Ar-Rabazi, telah menceritakan kepadaku Sadaqah ibnu Yasar, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam melakukan khotbahnya dalam haji wada’ di Mina pada pertengahan hari-hari Tasyriq. Antara lain beliau Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda: Hai manusia, sesungguhnya zaman itu berputar, keadaan zaman pada hari ini sama dengan keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Dan sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, empat bulan di antaranya ialah bulan-bulan haram (suci); yang pertama ialah Rajab Mudar yang jatuh di antara bulan Jumada dan Sya’ban. lalu Zul Qa’dah, Zul Hijjah, dan Muharram.
Ibnu Murdawaih telah meriwayatkan hal yang semisal atau sama dengan hadis di atas, dari hadis Musa ibnu Ubaidah, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar.
قَالَ حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ: حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي حُرّة حَدَّثَنِي الرَّقَاشِيُّ، عَنْ عَمِّهِ -وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ -قَالَ: كُنْتُ آخِذًا بِزِمَامِ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَوْسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ، أَذُودُ النَّاسَ عَنْهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَلَا إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، وَإِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السموات والأرض، منها أربعة حرم فلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ”
Hammad ibnu Salamah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Zaid, dari Abu Hamzah Ar-Raqqasyi, dari pamannya yang berpredikat sebagai sahabat. Paman Abu Hamzah Ar-Raqqasyi mengatakan bahwa ia memegang tali kendaraan unta Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada pertengahan hari-hari Tasyriq seraya menguakkan orang-orang agar menjauh darinya. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Ingatlah, sesungguhnya zaman itu berputar seperti keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Dan sesungguhnya bilangan bulan itu di sisi Allah ada dua belas bulan menurut ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya empat bulan haram (suci), maka janganlah kalian menganiaya diri kalian sendiri dalam bulan yang empat itu.
Sa’id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, dari Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: di antaranya empat bulan haram (suci). (At-Taubah: 36) Yaitu bulan Rajab, Zul Qa’dah, Muharram, dan Zul Hijjah.
Mengenai sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam salah satu hadis, yaitu:
” إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يوم خلق الله السموات وَالْأَرْضَ”،
Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi.
Hal ini merupakan taqrir (pengakuan) dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan sebagai pengukuhan terhadap urusan itu sesuai dengan apa yang telah dijadikan oleh Allah Swt. sejak semua, tanpa mendahulukan dan menangguh-nangguhkan dan mengganti. Seperti yang disabdakannya sehubungan dengan keharaman (kesucian) kota Mekah, yaitu:
“إِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ”،
Sesungguhnya kota ini disucikan oleh Allah sejak Dia menciptakan langit dan bumi, maka kota ini tetap suci karena disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai hari kiamat.
Hal yang sama dikatakannya pula dalam bab ini, yaitu: Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi.
Dengan kata lain, keadaan zaman pada hari ini sama dengan keadaannya sejak diciptakan oleh Allah —yakni tetap berputar— sebagai suatu ketetapan dari-Nya sejak Dia menciptakan langit dan bumi.
Sebagian ulama tafsir dan ahli ilmu kalam telah mengatakan berkenaan dengan hadis tersebut, bahwa yang dimaksud dengan sabdanya, “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi”, sesungguhnya hal itu bertepatan dengan haji yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam di tahun itu, yaitu dalam bulan Zul Hijjah. Orang-orang Arab di masa dahulu pun sering menangguh-nangguhkan bulan haram ini. Selama bertahun-tahun mereka selalu mengerjakan hajinya di luar bulan Zul Hijjah, bahkan kebanyakan ibadah haji mereka dilakukan di luar bulan Zul Hijjah. Dan mereka menduga bahwa haji yang dilakukan oleh Abu Bakar As-Siddiq dalam tahun sembilan Hijriah dilakukan bulan Zul Qa’dah. Tetapi kebenaran pendapat ini masih perlu dipertimbangkan, seperti apa yang akan kami jelaskan dalam pembahasan tentang Nasi’.
Hal yang lebih aneh daripada ini ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Tabrani dari sebagian ulama Salaf dalam sejumlah hadis yang menyatakan, “Sesungguhnya haji kaum muslim, orang-orang Yahudi, dan orang-orang Nasrani pernah bertepatan dalam hari yang sama, yaitu Hari Raya Kurban pada tahun haji wada’.”
Syekh Alamud Din As-Sakhawi di dalam kitabnya Al-Masyhurfi Asmail Ayyam wasy Syuhur telah menyebutkan bahwa bulan Muharram di namakan Muharram karena ia merupakan bulan yang diharamkan (disucikan). Menurut pendapat penulis (As-Sakhawi), dinamakan demikian untuk mengukuhkan keharamannya. Mengingat orang-orang Arab di masa lalu berpandangan labil terhadapnya, terkadang dalam satu tahun mereka menghalalkannya, sedangkan di tahun yang lain mengharamkannya. Kata muharram dijamakkan menjadi muharramat, maharim, dan maharim.
Bulan Safar, dinamakan demikian karena rumah-rumah mereka kosong dari para penghuninya, sebab penghuninya pergi untuk berperang dan mengadakan perjalanan. Dikatakan safaral makanu, apabila tempat yang dimaksud kosong, tak berpenghuni. Dijamakkan menjadi asfar, sama wazannya dengan lafaz jamal yang bentuk jamaknya ajmal.
Bulan Rabi’ul AwwaL dinamakan demikian karena mereka menetap di rumahnya masing-masing. Al-irtiba’ artinya tinggal di keramaian daerah tempat tinggal. Bentuk jamaknya adalah arbi’a, sama wazannya dengan lafaz nasibun yang bentuk jamaknya ansiba. Dapat pula dijamakkan menjadi arba’ah, sama wazannya dengan ragifun yang bentuk jamaknya argifah. Rabi’ul Akhir sama ketentuannya dengan Rabi’ul Awwal.
Jumada, dinamakan demikian karena pada bulan itu air membeku. Menurut perhitungan mereka (orang-orang Arab di masa Jahiliah) bulan-bulan itu tidak berputar-putar —tetapi pendapat As-Sakhawi kali ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya—, sebab bulan-bulan itu menurut mereka dikaitkan dengan hilal. Dengan demikian, berarti bulan-bulan itu harus berputar. Barangkali mereka menamakannya dengan sebutan Jumada pada awal mulanya ialah di saat air sedang membeku, seperti yang disebutkan oleh seorang penyair mereka, yaitu:
وَلَيلَةٍ منْ جُمادى ذَاتِ أنْدِيَة … لَا يُبْصِرُ العبدُ فِي ظَلماتها الطُّنُبَا …
لَا يَنْبَحُ الكلبُ فِيهَا غَير وَاحدَةٍ … حَتَّى يَلُفَّ عَلَى خُرْطُومه الذَّنَبَا …
Dan malam hari dari bulan Jumada yang berkabut tebal, seorang hamba tidak dapat melihat tali pemancang kemah dalam kegelapannya. Dan anjing tidak ada yang melolong kecuali hanya sekali sebelum melilitkan ekornya pada moncongnya.
Jumada dijamakkan menjadi jumadiyat, sama wazannya dengan lafaz hubara yang jamaknya hubariyat. Lafaz jumada terkadang di-muzakkar-kan dan terkadang di-muannas-kan, maka dikatakan Jumadil Ula dan Jumadil Awwal, Jumadil Akhir, dan Jumadil Akhirah.-
Rajab, berasal dari tarjib, artinya menghormat; dijamakkan dalam bentuk arjab, rajah, dan rajabat.
Sya’ban berasal dari sya’abai qabailu, artinya kabilah-kabilan itu mulai berpencar untuk mengadakan serangan. Dijamakkan dalam bentuk sya’abin dan Sya’banat.
Ramadan berasal dari kata syiddatur ramda yang artinya panas yang terik. Bila dikatakan ramadatil fisalu, artinya anak-anak unta itu kehausan. Dijamakkan dalam bentuk ramadanat, ramadina dan armidah.
As-Sakhawi mengatakan, “Pendapat orang yang mengatakan bahwa Ramadan berasal dari salah satu asma Allah merupakan suatu kekeliruan yang tidak dapat dijadikan pegangan dan tidak bisa dijadikan rujukan.”‘
Menurut kami, memang ada sebuah hadis yang mengatakan demikian (bahwa Ramadan adalah salah satu dari asma Allah Subhanahu wa Ta’ala), tetapi predikat hadisnya daif. Hal ini telah kami kemukakan di dalam permulaan Kitabus Siyam.
Syawwal berasal dari kata syalatil ibilu aznabaha lit taraq yang artinya unta itu mengangkat ekornya untuk kawin. Dijamakkan dalam bentuk syawawil, syawawil, dan syawalat.
Al-Qa’dah, dapat juga disebut Al-Qi’dah. Dinamakan demikian karena mereka (orang-orang Arab) diam di tempatnya, tidak mengadakan peperangan, tidak pula bepergian. Dijamakkan menjadi zawatul qa’dah.
Al-Hijjah dan Al-Hajjah, dinamakan demikian karena mereka melakukan haji di bulan itu. Dijamakkan menjadi zawatul hijjah.
Nama-nama hari ialah Ahad sebagai hari pertama, dijamakkan menjadi Ahad, Ahad dan Wahud. Kemudian hari Senin dijamakan menjadi Asanin. Selasa dengan bacaan panjang, yaitu Sulasa, yakni dapat Ai-muzakkar-kan dan dimu’annaskan: ]amaknya Salasawat dan Asalis. Kemudian Arbi’a (hari Rabu), dijamakkan menjadi Arbi awat dan arabi. Khamis dijamakkan menjadi Akhmisah dan Akhamis. Lalu Jumu’ah dan Jum’ah atau Juma’ah. dijamakkan menjadi Juma dan Juma’at. As-Sabt berasal dari kata As-Sabt, artinya terputus, karena bilangan hari telah habis padanya.
Di masa dahulu orang-orang Arab menamakan hari-hari dengan sebutan Awwal untuk hari pertama, lalu Ahwan, lalu Jubar, kemudian Dubar, lalu Mu’nis, lalu ‘Arubah, dan terakhir Syubar. Salah seorang penyair dari kalangan orang-orang Arab Uraba dan Aribah di masa silam mengatakan:
أُرَجِّي أَنْ أعيشَ وَأَنَّ يَومِي … بِأَوَّلَ أَوْ بِأَهْوَنَ أَوْ جُبَار …
أَوِ التَّالِي دُبَار فِإِنْ أفُتهُ … فمؤنس أو عروبةَ أو شيار …
Aku berharap untuk berusia panjang, dan sesungguhnya hari-hariku ialah Awwal atau Ahwan atau Jubar atau berikutnya, yaitu Dubar. Dan jika aku melewatkannya, maka Mu’nis atau ‘Arubah atau Syubar.
*******************
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ}
di antaranya empat bulan haram. (At-Taubah: 36)
Hal ini diharamkan pula oleh orang-orang Arab di masa silam. Demikianlah menurut kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian besar dari mereka, kecuali sejumlah orang dari kalangan mereka yang dikenal dengan sebutan golongan Al-Basal. Mereka mengharamkan delapan bulan dari setiap tahunnya sebagai ungkapan rasa fanatik dan pengetatan hukum atas diri mereka.
Adapun mengenai sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mengatakan:
“ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ،
Tiga bulan di antaranya berturut-turut, yaitu Zul Qa’dah, Zul Hijjah, dan Muharram; lalu Rajab Mudar yang terletak di antara bulan Jumada dan Sya’ban.
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam meng-idafah-kan (mengaitkan)nya dengan Mudar, untuk menjelaskan kepada mereka kebenaran perkataan orang-orang Mudar terhadap bulan Rajab, bahwa bulan Rajab terletak di antara bulan Jumada dan Sya’ban. Bukan seperti yang diduga oleh orang-orang Rabi’ah yang mengatakan bahwa bulan Rajab yang diharamkan (disucikan) ialah bulan yang terletak di antara bulan Sya’ban dan Syawwal, yaitu Ramadan sekarang. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan, bahwa yang dimaksud adalah Rajab Mudar, bukan Rajab Rabi’ah.
Sesungguhnya bulan yang diharamkan ada empat, tiga bulan di antaranya berurutan letaknya, sedangkan yang satunya lagi terpisah; hal ini tiada lain demi menunaikan manasik haji dan umrah. Maka diharamkan (disucikan) satu bulan sebelum bulan haji, yaitu bulan Zul Qa’dah, karena mereka dalam bulan itu beristirahat tidak mau berperang; dan diharamkan bulan Zul Hijjah karena dalam bulan itu mereka menunaikan ibadah haji dan sibuk dengan penunaian manasiknya. Kemudian diharamkan pula satu bulan sesudahnya —yaitu bulan Muharram— agar orang-orang yang telah menunaikan haji pulang ke negerinya yang jauh dalam keadaan aman.
Kemudian diharamkan bulan Rajab di pertengahan tahun, untuk melakukan ziarah ke Baitullah dan melakukan ibadah umrah padanya, bagi orang yang datang kepadanya dari daerah yang jauh dari Jazirah Arabia. Maka mereka dapat menunaikan ibadah umrahnya, lalu kembali ke negerinya masing-masing dalam keadaan aman.
{ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ}
Itulah (ketetapan) agama yang lurus. (At-Taubah: 36)
Maksudnya, itulah syariat yang lurus yang harus diikuti demi mengerjakan perintah Allah sehubungan dengan bulan bulan yang Haram yang dijadikan-Nya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan-Nya di dalam ketetapan Allah yang dahulu. Dalam firman selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
{فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ}
maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu. (At-Taubah: 36)
Yakni dalam bulan-bulan Haram itu janganlah kalian berbuat aniaya terhadap diri kalian sendiri, karena dalam bulan-bulan Haram itu sanksi berbuat dosa jauh lebih berat daripada dalam hari-hari lainnya. Sebagaimana perbuatan maksiat yang dilakukan di dalam Kota Suci Mekah, berlipat ganda dosanya, karena ada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengatakan:
{وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ}
dan siapa yang dimaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya Kami akan rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih. (Al-Hajj: 25)
Demikian pula dalam bulan suci, perbuatan dosa diperberat sanksinya. Karena itulah di dalam mazhab Imam Syafii dan segolongan ulama disebutkan bahwa hukuman diat diperberat dalam bulan itu. Sebagaimana diat diperberat pula terhadap orang yang melakukan pembunuhan di dalam Tanah Suci atau membunuh orang yang sedang ihram.
Hammad ibnu Salamah telah meriwayatkan dari Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mahran. dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: maka janganlah kalian menganiaya diri kalian sendiri dalam bulan yang empat itu. (At-Taubah:36) Yakni dalam semua bulan.
Ali Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah. (At-Taubah: 36), hingga akhir ayat. Maka janganlah kalian menganiaya diri kalian sendiri dalam semua bulan. Kemudian dikecualikan dari semua bulan itu sebanyak empat bulan. Keempat bulan itu dijadikan sebagai bulan Haram (suci) yang kesuciannya diagungkan, dan sanksi atas perbuatan dosa yang dilakukan padanya diperbesar serta pahala amal saleh yang dilakukan di dalamnya diperbesar pula.
Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka janganlah kalian menganiaya diri kalian sendiri dalam bulan yang empat itu. (At-Taubah: 36) Sesungguhnya melakukan perbuatan aniaya dalam bulan-bulan Haram, maka dosa dan sanksinya jauh lebih besar daripada melakukan perbuatan aniaya dalam bulan-bulan yang lain, sekalipun pada prinsipnya perbuatan aniaya itu —kapan saja dilakukan— dosanya tetap besar. Tetapi Allah lebih memperbesar urusan-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya.
Selanjutnya Qatadah mengatakan, “Sesungguhnya Allah telah memilih banyak pilihan dari kalangan makhluk-Nya. Dia memilih dari kalangan para malaikat yang dijadikan-Nya sebagai utusan-utusan-Nya, juga dari kalangan manusia Dia memilih orang-orang yang dijadikan-Nya sebagai utusan-utusan-Nya. Dia memilih dari Kalam-Nya, yaitu Al-Qur’an; dari bumi ini masjid-masjid, dari bulan-bulan ini bulan Ramadan dan bulan-bulan Haram, dari hari-hari ini memilih hari Jumat, dan dari malam-malam hari Dia memilih Lailatul Qadar. Oleh sebab itu, agungkanlah apa yang diagungkan oleh Allah, karena sesungguhnya pengagungan itu hanyalah kepada apa yang diagungkan oleh Allah. Demikianlah menurut orang yang berakal dan berpemahaman.”
As-Sauri telah meriwayatkan dari Qais ibnu Muslim, dari Al-Hasan, dari Muhammad Ibnul HAnafiah bahwa makna yang dimaksud ialah ‘Janganlah kalian melakukan hal-hal yang diharamkan padanya demi menghormati kesuciannya’.
Muhammad ibnu Ishaq telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu. (At-Taubah: 36) Maksudnya, janganlah kalian menjadikan keharamannya berubah menjadi halal, janganlah pula kalian menghalalkan keharamannya seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang musyrik, karena sesungguhnya nasi’ (penangguhan bulan Haram) yang biasa mereka lakukan itu merupakan penambahan kekafiran mereka. disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undur itu. (At-Taubah: 37), hingga akhir ayat.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
*******************
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً}
Dan perangilah kaum musyrik itu semuanya. (At-Taubah: 36)
Artinya, perangilah oleh kalian semua orang musyrik itu.
{كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً}
sebagaimana mereka pun memerangi kalian semua. (At-Taubah: 36)
Yaitu sebagaimana mereka semua memerangi kalian.
{وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ}
dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (At-Taubah: 36)
Para ulama berbeda pendapat tentang keharaman hukum melalui peperangan dalam bulan-bulan Haram, apakah hukum ini di-mansukh atau muhkam. Ada dua pendapat mengenainya, yaitu:
Pendapat pertama, merupakan pendapat yang terkenal. Menurut pendapat ini hukumnya telah di-mansukh, karena di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
{فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ}
maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu. (At-Taubah: 36)
Lalu diperintahkan untuk memerangi orang-orang musyrik. Makna lahiriah nas (teks) menunjukkan keumuman pengertiannya, yakni perintah ini bersifat umum tanpa ada ikatan waktu. Seandainya melakukan peperangan terhadap kaum musyrik diharamkan dalam bulan-bulan Haram, sudah dipastikan ada ikatannya, yaitu dengan lepasnya bulan-bulan Haram. Juga karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika mengepung penduduk Taif terjadi dalam bulan Haram. yaitu bulan Zul Qa’dah; seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berangkat untuk memerangi orang-orang Hawazin dalam bulan Syawwal. Setelah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berhasil mematahkan dan mencerai-beraikan mereka, lalu menjarah harta rampasan mereka, maka sisa-sisa mereka berlindung di kota Taif. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menuju Taif dan mengepung mereka selama empat puluh hari, lalu pulang ke Madinah tanpa membukanya. Dan terbukti bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan pengepungannya itu dalam bulan Haram.
Pendapat kedua mengatakan bahwa memulai peperangan dalam bulan-bulan Haram hukumnya haram, dan bahwa keharaman melakukan peperangan dalam bulan-bulan Haram ini tidak di-mansukh, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengatakan:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلا الشَّهْرَ الْحَرَامَ}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian melanggar syiar-syiar Allah dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan Haram. (Al-Maidah: 2)
{الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ}
Bulan Haram dengan bulan Haram dan pada sesuatu yang patut dihormati berlaku hukum qisas. Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia yang seimbang dengan serangannya terhadap kalian. (Al-Baqarah: 194), hingga akhir ayat.
{فَإِذَا انْسَلَخَ الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ}
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu. (At-Taubah: 5), hingga akhir ayat.
Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan bahwa bulan-bulan Haram itu adalah empat bulan yag telah ditetapkan setiap tahunnya, bukan bulan-bulan tas-yir, menurut salah satu di antara dua pendapat.
*******************
Mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً}
dan perangilah kaum musyrik itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya. (At-Taubah: 36)
Dapat ditakwilkan bahwa ayat ini terputus dari ayat sebelumnya, kemudian ia dianggap sebagai kalimat baru yang menjelaskan hukum yang lain. Dan hal ini termasuk ke dalam Bab “Menggugah dan Memberikan Semangat untuk Hal yang Dimaksud”. Dengan kata lain, sebagaimana mereka menghimpun kekuatannya untuk memerangi kalian saat mereka hendak memerangi kalian, maka himpunlah kekuatan kalian untuk memerangi mereka, bila kalian hendak memerangi mereka. Dan perangilah mereka sama dengan apa yang mereka lakukan terhadap kalian.
Dapat pula diinterprestasikan bahwa telah diberi izin oleh Allah bagi kaum mukmin untuk memerangi orang-orang musyrik dalam bulan-bulan Haram, jika mereka (orang-orang musyrik) memulainya terlebih dahulu, seperti yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ}
Bulan Haram dengan bulan Haram dan pada sesuatu yang patut dihormati berlaku hukum qisas. (Al-Baqarah: 194)
{وَلا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ}
dan janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kalian di tempat itu. Jika mereka memerangi kalian (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. (Al-Baqarah: 191), hingga akhir ayat.
Demikianlah jawaban tentang pengepungan yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap ahli Taif yang pengepungan tersebut terus berlangsung sampai masuk bulan Haram, karena sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam itu merupakan kelanjutan dari peperangan melawan orang-orang Hawazin dan para hulafa (teman-teman sepakta)nya dari kalangan Bani Saqif (penduduk kota Taif). Karena sesungguhnya merekalah yang terlebih dahulu memulai peperangan, menghimpun pasukan, serta menyerukan perang dan bertanding di medan perang. Maka pada saat itu juga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menerima tantangan mereka, seperti yang telah disebutkan jauh sebelum ini.
Ketika orang-orang Hawazin berlindung di benteng kota Taif, maka Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam dan kaum muslim datang ke Taif untuk mengeluarkan mereka dari Benteng Taif. Akhirnya mereka berhasil membunuh sebagian dari pasukan kaum muslim yang mencoba naik ke benteng mereka. Kemudian pengepungan dilanjutkan dengan manjaniq (pelontar batu) dan senjata jarak jauh lainnya selama kurang lebih empat puluh.
Pengepungan tersebut dimulai pada bulan Halal dan berlanjut sampai ke bulan Haram selama beberapa hari. Setelah itu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kembali ke Madinah meninggalkan mereka. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam karena mengingat bahwa dapat dimaafkan melanjutkan sesuatu itu dalam kondisi tertentu yang tidak dapat dimaafkan bila dilakukan pada permulaannya. Hal seperti ini merupakan suatu perkara yang telah menjadi ketetapan hukum, dan hal yang semisal dengannya dalam hukum banyak di dapat.
Berikut ini akan kami sebutkan hadis-hadis yang menceritakan tentang hal tersebut. Hal ini telah kami catat di dalam kitab Sirah.
[Penulis (Ibnu Kasir) tidak menuturkan hadis-hadis yang telah dijanjikannya itu, maka harap direnungkan. pent]Demikian pembahasan kita mengenai Tafsir Surat At-Taubah ayat 36 Imam Ibnu Katsir. Semoga dengan penjelasan di atas kita dapat mengambil hikmah dan faedah untuk bisa kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan lupa bagikan artikel ini ke sosial media kalian agar semakin banyak kaum muslimin yang memahami kandungan ayat suci Al quran.